Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhan) dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. – Q.S. Al-Baqarah [2]: 208
Bagi seorang salik Thariqah Qudusiyah, menjadi Muslim yang paripurna adalah memahami dan menjalankan Agama Islam secara kaffah, komprehensif, total, dan tidak setengah-setengah. Kaffah berarti menyeluruh, meliputi seluruh aspek dan dimensinya, yaitu tiga rukun Ad-Diin: Islam, Iman, dan Ihsan.
Ketiga rukun ini dijabarkan oleh Rasulullah SAW di dalam sebuah hadits(1) yang sangat populer dan memiliki makna yang begitu dalam. Di sana dijelaskan pokok-pokok Agama Islam yang berdiri di atas tiga pilar besar:
1. Aspek Islam, yakni syari’at dan amal perbuatan. Di dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW menjabarkan "Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah (tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan pergi haji jika mampu." Oleh karena itu, memahami syari’at secara benar, lalu menegakkan dan menyempurnakannya, mengetahui apa yang dihalalkan dan yang diharamkan, memahami larangan dan perintah-Nya merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang salik di thariqah mana pun.
2. Aspek Iman, yakni terkait aqidah dan tauhid. Rasulullah SAW menjabarkan bahwa "Iman adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk."
Iman pada hakikatnya merupakan cahaya (Q.S. Az-Zumar [39]: 22), atau biasa juga disebut Nur Iman (Cahaya Iman).
أَفَمَن شَرَحَ اللَّـهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٍ مِّن رَّبِّهِ ۚ فَوَيْلٌ لِّلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكْرِ اللَّـهِ ۚ أُولَـٰئِكَ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ
Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. – Q.S. Az-Zumar [39]: 22
Iman adalah cahaya yang memancar di hati (Q.S. Al Hujuraat [49]: 7, 14) pada orang-orang yang dikehendaki Allah (Q.S. Yunus [10]: 100). Jadi, meski kita mengatakan, "saya beriman!", namun bila Nur Iman itu tidak ada di hati kita, tidaklah bisa dikatakan kita beriman. seperti diungkapkan dalam firman-Nya,
قَالَتِ ٱلْأَعْرَابُ ءَامَنَّا ۖ قُل لَّمْ تُؤْمِنُوا۟ وَلَـٰكِن قُولُوٓا۟ أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ ٱلْإِيمَـٰنُ فِى قُلُوبِكُمْ
Orang-orang Arab itu berkata: 'Kami telah beriman'. Katakanlah: 'Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah ber-Islam (berserah diri/tunduk)', karena iman itu belum masuk ke dalam qalb-mu.' – (Q.S. Al-Hujuraat [49]: 14)
Oleh karena itu, Iman merupakan hak prerogatif Allah yang Dia sematkan ke dalam qalb seorang hamba.
Iman adalah cahaya yang memancar di hati (Q.S. Al Hujuraat [49]: 7, 14) orang-orang yang dikehendaki Allah (Q.S. Yunus [10]: 100). Jadi, meski kita mengatakan, "Saya beriman!", namun bila Nur Iman itu tidak ada di hati kita, tidaklah bisa dikatakan kita beriman.
3. Aspek Ihsan, yakni tasawuf (2) atau yang terkait dengan akhlak karimah dan budi pekerti. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa "Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihatnya, maka Dia melihat engkau."
Ihsan merupakan aspek yang sangat penting di dalam kerangka ajaran Agama Islam karena terkait dengan "rasa batin" seorang hamba, dalam menghadapkan setiap aspek kehidupannya kepada “wajah” Tuhannya. Aspek inilah yang menahan seorang salik untuk berpakaian ala kadarnya ketika menghadap Tuhannya di waktu shalat (meskipun pakaian tersebut adalah sah secara syari’at) karena menyadari kepada siapa ia menghadap.
Aspek ini pulalah yang menghiasi istighfar berulang-ulang di malam hari dengan penuh rasa sesal dan harap kepada Tuhannya. Aspek ini juga yang menjadikan seorang salik bersungguh-sungguh mempersembahkan amal yang terbaik—karena di sinilah sang salik dalam setiap degup jantungnya senantiasa menyelaraskan langkah-langkah kehidupannya dengan kehendak Allah lantaran "seakan-akan engkau melihat-Nya."
Ketiga aspek tersebut merupakan fondasi dasar, yakni pilar-pilar utama dari apa yang disebut sebagai pemahaman dan pengamalan Agama Islam yang menyeluruh. Oleh karena itu, tidaklah menjadi Muslim yang paripurna bila seorang salik mengesampingkan salah satu dari ketiga pilar itu.
Tidak mungkin seorang salik memasuki Islam secara paripurna bila ia hanya ber-tasawuf saja (Aspek Ihsan) tanpa mengerjakan syariat-syariat (Aspek Islam) sesuai apa yang telah diajarkan Rasulullah SAW. Di sisi lain, tidak jugalah sempurna seorang Muslim ber-Islam secara paripurna bila hanya berpijak di atas Syari’at saja tanpa adanya Cahaya Iman dan pemahaman Aspek-Aspek Ihsan dalam kehidupannya.
Oleh karena itu, ketiga dimensi tersebut, yakni: beriman, mengerjakan syariat, dan berakhlak karimah serta berbudi pekerti luhur (tasawuf) tidak dapat dipisah-pisahkan dalam upaya menjalani keberislaman secara penuh, menyeluruh, kaffah.
Aspek Ihsan adalah satu aspek yang akhir-akhir ini kerap dikesampingkan di setiap pembahasan tentang Agama Islam dan banyak kalangan lebih menitik-beratkan pada terminologi "Iman-Islam", padahal "Ihsan" juga telah menjadi salah satu pilar besar yang tak terpisahkan dari ajaran Rasulullah SAW. Salah satu topik sentral dalam Aspek Ihsan yang kerap menjadi perdebatan di banyak kalangan adalah tentang zuhud.
Tidak mungkin seorang salik memasuki Islam secara paripurna bila ia hanya ber-tasawuf saja (Aspek Ihsan) tanpa mengerjakan syariat-syariat (Aspek Islam) sesuai apa yang telah diajarkan Rasulullah SAW.
Zuhud Bukanlah Meninggalkan Dunia
Zuhud secara bahasa memang berarti "berpaling dari sesuatu" dan merupakan salah satu ajaran Rasulullah SAW seperti termaktub dalam sebuah hadits, "Zuhud-lah pada dunia, Allah akan mencintaimu. Zuhud-lah pada apa yang ada di sisi manusia, manusia pun akan mencintaimu." (H.R. Ibnu Majah)
Tentu dimensi zuhud ini bukanlah sesuatu yang mengada-ada karena berpijak pada sebuah pedoman dasar seperti yang terungkap di begitu banyak ayat di dalam Al-Qur’an bahwa "Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal." (Q.S. Al-Mu’min [40]: 39) dan Allah memberi pahala yang besar kepada "orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat" (Q.S. An-Nissa [4]: 74) dalam arti: mereka yang lebih mementingkan kehidupan akhirat dibandingkan kehidupan dunia. Inilah prinsip dasar dari ajaran tentang zuhud.
Namun, zuhud telah sering disalahartikan sebagai corak kehidupan yang meninggalkan aspek-aspek duniawi dan mengesampingkan urusan-urusan dunia. Pemahaman ini tentu saja kurang tepat. Bagaimana mungkin seorang salik yang ber-zuhud meninggalkan urusan-urusan dunianya sementara ladang amal terbaik telah Allah sebarkan justru melalui kepayahan hidup di dunia?
Bagaimana mungkin seorang suami atau bapak melalaikan tugas kerumahtanggaannya sementara Allah telah berfirman "Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya." (Q.S. Al-Baqarah [2]: 233)?
Bagaimana mungkin seorang salik menjalani hidup keruhanian dan meremehkan kehidupan pernikahan yang—seperti dijelaskan oleh Rasulullah SAW—justru merupakan "separuh dari agama"?
Tentu, dalam mengarungi jalan pertaubatannya, seorang salik musti waspada terhadap berbagai hal yang dapat melenakan dan melalaikannya dari mengingat Allah. Di satu sisi, Allah telah "menjadikan bumi itu mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya." (Q.S. Al-Mulk [67]: 15), namun di sisi lain Allah juga mewanti-wanti para hamba-Nya tentang "...kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu" (Q.S. Al-Hadiid [57]: 20) dan "kesenangan yang memperdayakan" (Q.S. Al-Imran [3]: 185).
Maka tentulah pokok permasalahannya di sini adalah bagaimana membuat sikap yang tepat terhadap kehidupan dunia, bagaimana mengambil "jarak" yang pas terhadap apa yang dijalaninya ini—yang tidak "anti-dunia" namun tidak juga tenggelam di dalamnya. Bagaimana meletakkan dunia di tempat yang semestinya. Di sinilah, ikhtiar dalam zuhud yang sebenarnya.
Zuhud tidaklah dicapai dengan pergi ke gunung dan gua-gua demi menghindari masyarakat manusia dan meninggalkan pernik-pernik duniawi. Zuhud adalah tidak mengisi hati/qalb-nya dengan kecintaan terhadap dunia. Zuhud adalah sebuah sikap hidup yang mengedepankan kehidupan akhirat sebagai tujuan yang jauh lebih hakiki dari kehidupan dunia yang sementara.
Bagaimana mungkin seorang salik yang ber-zuhud meninggalkan urusan-urusan dunianya sementara ladang amal terbaik telah Allah sebarkan justru melalui kepayahan hidup di dunia?
Ber-zuhud adalah memahami bahwasanya dunia hanyalah sebuah jembatan yang musti dilalui, sehingga tidak pada tempatnya bila membangun rumah-rumah kecintaan dunia di atas jembatan itu. Benarlah ungkapan Rasulullah SAW di dalam sebuah hadits, "Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau musafir" (H.R. Bukhari). Bukankah seorang musafir menganggap kota persinggahannya sekadar sebagai tempat sementara, dan ia senantiasa dalam sebuah safar (perjalanan), demi menempuh suatu jarak dari dunia ini yang mendekatkannya ke negeri akhirat?
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا مَا لَكُمْ إِذَا قِيلَ لَكُمُ انفِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّـهِ اثَّاقَلْتُمْ إِلَى الْأَرْضِ ۚ أَرَضِيتُم بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا مِنَ الْآخِرَةِ ۚ فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ
Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: "Berangkatlah di jalan Allah" kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. – Q.S. At-Taubah [9]: 38
Senantiasa Menghadapkan Dirinya kepada Allah
Oleh karena itu, menjadi Muslim yang paripurna bagi seorang salik adalah berjihad memperoleh "inti sari" dari ladang-ladang amal di dunia untuk mempersembahkan yang terbaik bagi kehidupan di akhirat. Ia berjuang membanting tulang mencari nafkah—bukan demi karir atau kedudukannya di mata manusia—melainkan karena itu adalah perintah Allah terhadap keluarganya. Jika ia menjadi pemimpin, ia pun akan memimpin rakyatnya atau orang-orang yang dipimpinnya dengan rasa welas asih, keadilan, hikmah dan rasa takut akan Hari Pengadilan Akhir—bukan agar nantinya dikenang sebagai pemimpin yang berhasil atau yang dicintai rakyatnya—tapi semata karena itulah perintah Allah kepada setiap pemimpin.
Keridhaan Allah inilah yang akan senantiasa menjadi tema sentral bagi kehidupan seorang salik—di mana pun ia berada: di kantor atau di masjid, ketika bekerja maupun dalam waktu ibadah, di kala berdiri maupun di saat sujud. Kesenangan hidup akan membuat hati seorang Muslim dipenuhi rasa syukur kepada-Nya sekaligus harapan akan perlindungan-Nya atas kesombongan dan ketidakpedulian terhadap sesama yang dapat menjerumuskannya ke limbah nista.
Sementara kesulitan dan ujian kehidupan tidak akan membangkitkan keluh kesah karena ia tahu Sang Pemilik Hidup telah merancang "kurikulum" kehidupan dan jalan yang terbaik baginya, dan justru akan membuat hati seorang salik dipenuhi kekhusyuan rasa harap akan ampunan dan pertolongan-Nya.
Catatan Kaki:
1. Hadits yang dimaksud berbunyi sebagai berikut:
Dari Umar r.a.: Ketika kami duduk-duduk di sisi Rasulullah SAW, suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya.
Hingga kemudian dia duduk di hadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada lutut Rasulullah SAW seraya berkata: "Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam", maka bersabdalah Rasulullah SAW: "Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada ilah (tuhan yang disembah) selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan pergi haji jika mampu", kemudian dia berkata: "Engkau benar." Kami semua heran, dia yang bertanya namun dia pula yang membenarkan.
Kemudian orang itu bertanya lagi: "Beritahukan aku tentang Iman". Lalu Beliau SAW bersabda: "Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk", kemudian dia berkata: "Engkau benar."
Kemudian dia berkata lagi: "Beritahukan aku tentang Ihsan." Lalu Beliau SAW bersabda: "Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau."
Kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam sebentar. Kemudian Rasulullah SAW bertanya: "Tahukah engkau siapa yang bertanya?" Aku berkata: "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Beliau SAW bersabda: "Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan Agama kalian“.
– H.R. Muslim
2. Dari sekian banyak rujukan para ulama, salah satunya bisa disebutkan yakni dari Ibnu Taymiyyah, seorang ulama fiqh yang terkenal, di buku Majmu'a Fatawa Ibn Taymiyya al-Kubra bab mengenai "At-Tasawwuf", dimana beliau menyebutkan bahwasanya, "(Tasawuf) ini adalah istilah yang diberikan kepada mereka yang mempelajari ilmu tentang penyucian diri (tazkiyyat an-nafs) dan Al-Ihsan."