Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, melainkan qalb (hati) yang di dalam dada.
– Q.S. Al-Hajj [22]: 46
BUKANLAH perkara mudah untuk menggapai hakikat makna qalb yang sesungguhnya. Namun bagi seorang salik, qalb (yang dalam Bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai "hati", atau "hati nurani") menempati posisi sentral dalam sebuah laku jalan pertaubatan, sebuah jalan panjang pengenalan diri kepada Sang Khalik.
Dapat dikatakan, qalb-lah medan perjuangan yang sesungguhnya. Locus yang menjadi kunci utama di mana segenap daya juang dikerahkan untuk merebut dan memenangkannya. Qalb merupakan poros mikrokosmos dari seorang insan—sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging yang jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuhnya. Dan jika ia buruk, maka buruklah seluruh tubuhnya. Ia adalah qalb." (H.R. Bukhari)
Qalb-lah medan perjuangan yang sesungguhnya. Locus yang menjadi kunci utama di mana segenap daya juang dikerahkan untuk merebut dan memenangkannya. Qalb merupakan poros mikrokosmos dari seorang insan.
Betapa tidak, apa yang tersembunyi di dalam qalb seseorang menjadi acuan tentang baik buruknya sebuah perbuatan. Apakah perbuatan itu mendapatkan pahala atau jatuh menjadi sekadar kesia-siaan? Suatu bentuk keikhlasan ataukah kemunafikan? Karena bukankah "… Allah tidak melihat kepada bentuk tubuh kalian atau rupa kalian, akan tetapi Dia melihat qalb kalian" (H.R. Muslim)?
Pada titik itu, di relung qalb, terbuka bagi-Nya apa-apa yang nyata sesungguhnya di balik semua realitas ini. Tiada terbandingkan bagi-Nya. Tiada pula sanggup ketika seluruh daya alam semesta, seisinya, bersama-sama menghela seorang insan untuk meraih keridhaan-Nya, tanpa sebuah qalb yang "hidup". Seperti termaktub dalam sebuah hadits qudsi: "Sesungguhnya semua petala langit dan bumi menjadi sempit untuk merangkul-Ku, akan tetapi Aku mudah untuk dirangkul oleh qalb hamba-Ku yang mukmin" (H.R. Ahmad).
Qalb yang Berakal dan Memahami
Apa yang dapat kita pelajari dari sini? Dapatkah kita memaknai qalb semata sebagai "hati yang merasa", atau bahkan sekadar "jantung yang mengedarkan oksigen ke sekujur tubuh”?
Apabila kita baca dengan teliti, Al-Qur’an maupun hadits-hadits mengindikasikan bahwa qalb merupakan sebuah instrumen yang amat khusus dan istimewa. Ia disematkan ke dalam dada seorang insan untuk mengungkap rahasia tentang siapa Penciptanya. Sebuah perangkat untuk mengenali-Nya, memahami-Nya, "merangkul-Nya!”
Mari kita perhatikan ayat Al-Qur’an berikut:
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَـٰكِن تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
… maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai qalb yang dengan itu mereka dapat memahami (ta'qiluun) atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, melainkan qalb-qalb yang ada dalam dada-dada.– Q.S. Al-Hajj [22]: 46
Ayat di atas mengungkapkan tentang "hati yang dengan itu mereka dapat memahami", qalb yang ta'qiluun, atau yang secara harfiah diartikan sebagai "qalb yang dengan itu mereka berakal". Tidakkah hal ini menggelitik pikiran kita? Sebenarnya, qalb yang berakal ataukah otak yang berakal?
Memang tak dipungkiri bahwa dunia keilmuan manusia telah merujuk pada instrumen lain ketika berbicara tentang akal dan menyimpulkan bahwa otak lah yang berakal. Namun tentu kita pun mafhum bahwa kesimpulan tersebut didasarkan pada gejala dan fenomena fisik yang teramati pada anggota tubuh tersebut.
Al-Qur’an, pada sekian banyak ayatnya, berusaha memberi perspektif yang lain kepada kita. Al-Qur’an mengungkap sebuah substansi yang ada di dalam diri manusia yang memuat fungsi keberakalan ('aql), kepahaman dan kefakihan (faqih) dalam memaknai sesuatu yang esensial tentang jati dirinya. Sebuah perangkat yang dapat mengenali Tuhan-nya, memahami firman-firman-Nya. Seperti disebutkan pada sebuah ayat:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْإِنسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَّا يَفْقَهُونَ بِهَا ...
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka) Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati (qalb), tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (yafqahuun)… – Q.S. Al-A'raaf [7]: 179
Pada ayat ini Al-Qur’an menginformasikan tentang qalb yang—bila ia berfungsi baik—dengan itu kita menjadi "yafqahuun", menjadi fakih, menjadi sepenuhnya paham tentang ayat-ayat-Nya.
Qalb, Tempat Masuknya Al-Iman
Tidak hanya akal dan daya pemahaman yang disentuh oleh Al-Qur’an ketika berbicara tentang qalb. Keistimewaan qalb yang lain juga bisa kita cermati di ayat berikut:
قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا ۖ قُل لَّمْ تُؤْمِنُوا وَلَـٰكِن قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ ۖ
Orang-orang Arab itu berkata: "Kami telah beriman." Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena Al-Iman itu belum masuk ke dalam qalb-mu… – Q.S. Al-Hujuraat [49]: 14
Mari kita perhatikan. Dalam ayat ini diterangkan bahwasanya meski telah manis kita berucap "ya, saya orang beriman", atau serentetan argumen kita ucapkan demi meyakinkan orang lain akan betapa teguhnya kita kepada Rukun Iman, namun sesungguhnya: tiada kita beriman sampai Al-Iman itu masuk ke dalam qalb kita.
Al-Iman adalah anugerah-Nya, seperti tersurat di sebuah ayat "Tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah" (Q.S. Yunus [10]: 100) dan "orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat Tuhan-mu, tidaklah akan beriman" (Q.S. Yunus [10]: 96).
Sebenarnya tiada kita beriman sampai Al-Iman itu masuk ke dalam qalb kita. Tidakkah ini menjadi sebuah medan perenungan besar: Kita kah orang-orang yang beriman itu? Adakah Al-Iman benar-benar telah masuk ke dalam qalb kita?
Di sini kita memahami, bahwa hanya Allah lah "… yang menjadi pelindung orang-orang yang beriman itu, yang mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (iman)" (Q.S. Al-Baqarah [2]: 257).
Lalu, di manakah Dia Ta'ala sematkan cahaya Al-Iman itu?
Benar. Seperti tersurat secara lugas pada ayat di atas, ke dalam qalb!
Allah lah yang menjadikan kita "… cinta kepada Al-Iman dan menjadikannya indah di dalam qalb-mu" (Q.S. Al-Hujurat [49]: 7). Ia pula lah yang merawat dan menumbuhkannya dengan menurunkan "As-Sakinah (ketenangan) ke dalam qalb orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah" (Q.S. Al-Fath [48]: 4).
Karena secercah cahaya keimanan di dalam qalb itulah, Allah menyeru di berbagai ayat-Nya, "Hai, orang-orang yang beriman." Tidakkah ini menjadi sebuah medan perenungan besar: kita kah orang-orang yang beriman itu? Adakah Al-Iman benar-benar telah masuk ke dalam qalb kita?
Qalb, Tempat Turunnya Petunjuk Allah
Kita juga dapat mencermati dimensi qalb yang lain, yakni tatkala Allah menurunkan Al-Qur’an melalui Jibril a.s. kepada Rasulullah Muhammad SAW. "Wadah" apakah yang dipakai di dalam diri Rasulullah untuk menampung kitab yang amat mulia ini, petunjuk bagi seluruh umat manusia, dengan sekian keajaiban maknanya yang berlapis-lapis?
Al-Qur’an Surat Al-Baqarah [2]: 97 mengungkapkan "… maka Jibril itu telah menurunkannya (Al-Qur’an) ke dalam qalb-mu dengan seizin Allah." Qalb dalam ayat ini, adalah qalb seorang hamba-Nya yang amat mulia, Rasulullah Muhammad SAW.
Mencermati skema ini, maka kita mengerti bahwa hanya pada qalb yang dicahayai Al-Iman, Allah akan menganugrahkan petunjuk-Nya. Tiada pernah lengah perhatian-Nya dari makhluk kesayangan-Nya ini, di setiap nafas maupun capaian besar kehidupannya. Dia senantiasa memerhatikan kita. Di setiap sudut yang paling tersembunyi sekali pun, baik dalam suka cita maupun duka nestapa: Dia Ta’ala senantiasa bersama untuk memberi petunjuk.
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّـهِ ۗ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّـهِ يَهْدِ قَلْبَهُ ۚ وَاللَّـهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada qalb-nya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. – Q.S. At-Taghaabun [64]: 11
Di dalam qalb yang dipenuhi cahaya Al-Iman itulah, turunlah petunjuk-petunjuk-Nya. Tiada akan bersedih seorang hamba yang beriman yang tengah berada di antara himpitan musibah. Karena qalb yang berpendar oleh cahaya Al-Iman di dadanya telah mafhum: Tiada yang terjadi tanpa seizin Allah, Dia yang "tak pernah terlena, dan tak pernah tidur" (Q.S. Al-Baqarah [2]: 255), akan selalu menepati janji-Nya.
Qalb yang Tertutup, Terkunci Mati
Lalu bagaimana dengan qalb yang "mati"?
Qalb yang mati, berarti ia tak dapat menjalankan fungsi-fungsi sebagaimana mestinya. Qalb semacam itu tak kan mampu merenungkan (tadabur) Al-Qur’an, seperti termaktub di ayat "Apakah mereka tidak merenungkan Al-Qur’an ataukah qalb-qalb mereka terkunci?" (Q.S. Muhammad [47]: 24).
Meski terbaca olehnya ayat-ayat dari Kitabullah, kalimat-kalimat itu hanya melintas begitu saja di hadapannya. Tak mengubah sedikit pun perilaku dan pemahamannya tentang hidup dan jati dirinya. Al-Qur’an juga menjelaskan kisah umat-umat terdahulu, yang merupakan peringatan bagi manusia. Namun semuanya itu tak ada maknanya bagi qalb yang mati. Hanya qalb yang hidup yang mampu memaknai tanda-tanda itu (Q.S. Qaaf [50]: 36-37).
Qalb yang mati, juga diibaratkan oleh Al-Qur’an sebagai qalb yang mengeras, membatu. Jika berzikir menjadikan qalb tenang dan tentram, maka sebaliknya pun berlaku: qalb yang mengeras tak mampu mengingat (dzikr kepada) Allah, "… kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu qalb-nya untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata." (Q.S. Az-Zumar [39]: 22)
Lalu, bagaimana sebuah qalb bisa tertutupi sedemikian rupa, hingga kemudian mengeras dan membatu? Al-Qur’an mengisyaratkan proses tertutupinya qalb ini dengan apa yang diistilahkan sebagai "raan".
كَلَّا ۖ بَلْ ۜ رَانَ عَلَىٰ قُلُوبِهِم مَّا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya "raan" itu menutupi qalb mereka. – Q.S. Al-Muthaffifin [83]: 14
Rasulullah SAW menjelaskan ayat tersebut di dalam sebuah hadits, "Seorang hamba apabila melakukan suatu dosa, maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Apabila ia meninggalkannya dan meminta ampun serta bertaubat, hatinya dibersihkan. Apabila ia kembali (berbuat maksiat), maka ditambahkan titik hitam tersebut hingga menutupi hatinya. Itulah yang diistilahkan "ar-raan" yang Allah sebutkan dalam firman-Nya, 'Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya ar-raan itu menutupi qalb mereka'" (H.R. At-Tirmidzi)
Jadi sekali lagi, apa yang menutupi sebuah qalb, hingga kemudian mengeras dan menjadi seperti batu?
Benar, dosa.
Seorang hamba apabila melakukan suatu dosa, maka dititikkan dalam hatinya sebuah titik hitam. Itulah yang diistilahkan ar-raan dalam firman-Nya, '... sebenarnya ar-raan itu menutupi qalb mereka' (H.R. At-Tirmidzi)
Dosa yang kita tumpuk bertahun-tahun, semenjak dulu hingga kini. Setitik noktah yang mengotori qalb kala itu, lalu menjadi setaburan debu hitam, hingga timbul selapisan tipis jelaga. Dosa besar dan kecil pun datang bertubi-tubi di sepanjang waktu kehidupan. Jelaga itu pun kini jadi berlapis-lapis, bertumpuk-tumpuk hingga menyerupai kerak hitam yang sulit dibersihkan, dan akhirnya pun mengeras seperti batu yang hitam legam.
Qalb yang mati tak lagi layak menjadi wadah Al-Iman, dan ia takkan mampu memahami kebenaran.
ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ آمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا فَطُبِعَ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا يَفْقَهُونَ
Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu qalb mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat memahami. – Q.S. Al-Munaafiquun [63]: 3
Dengan kondisi qalb yang seperti itu, bagaimana kita sanggup memahami petunjuk Allah, baik dari rangkaian kalimat-Nya di dalam Al-Qur’an—dan semua yang telah ditebarkan-Nya di segenap penjuru alam dan pada diri kita sendiri?
Petunjuk-petunjuk itu akan seperti penglihatan yang samar-samar atau seruan nun jauh di ujung sana. Sebagaimana sabda-Nya: "Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. Dan orang-orang yang tidak beriman, pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al-Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh." – Q.S. Fushshilat [41]: 44
Tidakkah kita pernah merasakannya? Tatkala membaca Al-Qur’an, adakah kita teguh memperoleh makna yang sesungguhnya? Al-Qur’an adalah "bacaan yang amat mulia" (Q.S. Al-Waaqi’ah [56]: 77), namun sanggupkah qalb kita teguh meyakini sepenuhnya di mana letak kemuliaanya?
Petunjuk ilahi seperti rasi-rasi bintang di kegelapan langit malam bagi para pengarung lautan kehidupan: ia memberi arah, waktu dan penanda, di tengah samudera pilihan yang luas. Namun, apalah arti bintang-bintang itu bila awan gelap menggantung membatasi pandangan? Apa artinya peta navigasi dan konstalasi bintang bagi orang yang tak memahaminya selain melihat itu semua hanya sebagai coretan abstrak tanpa makna?
أَوْ كَظُلُمَاتٍ فِي بَحْرٍ لُّجِّيٍّ يَغْشَاهُ مَوْجٌ مِّن فَوْقِهِ مَوْجٌ مِّن فَوْقِهِ سَحَابٌ ۚ ظُلُمَاتٌ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ إِذَا أَخْرَجَ يَدَهُ لَمْ يَكَدْ يَرَاهَا ۗ وَمَن لَّمْ يَجْعَلِ اللَّـهُ لَهُ نُورًا فَمَا لَهُ مِن نُّورٍ
Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), dan di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun. – Q.S. An-Nuur [24]: 40
Mengembalikan Fungsi Qalb
Pada titik ini kita memahami, tiada cara lain agar qalb yang telah menghitam ini dapat berfungsi kembali, yakni dengan membersihkannya. Qalb yang bersih dan suci, kembali menjadi wadah cahaya Al-Iman, kembali memiliki daya perenungan dan kemampuan dalam memahami ayat-ayat-Nya. Hati yang tidak buta dan tidak tuli, yang sanggup menerima petunjuk-Nya.
"Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu" (Q.S. Asy-Syams [91]: 9)—demikianlah, memiliki qalb yang bersih dan suci, kata Al-Qur’an, adalah sebuah keberuntungan besar.
Lalu bagaimana caranya? Bagaimana kita hendak membersihkan qalb, sesuatu yang kita tak memiliki pengetahuan tentangnya? Rasulullah SAW bersabda, "Apabila ia meninggalkan sebuah dosa dan meminta ampun serta bertaubat, maka qalb-nya dibersihkan" (H.R. At-Tirmidzi).
Hanya Allah semata yang sanggup memperbaiki qalb yang yang telah rusak ini dan membersihkannya, yakni melalui ampunan dan penerimaan atas taubat hamba-Nya. Maka tiada cara lain untuk menghidupkan kembali qalb kita itu, selain memohon ampunan-Nya atas setiap dosa, "Bertaubat kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya), mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu (Q.S. At-Tahrim [66]: 8).
Hati yang bersih dan suci, sebuah persembahan demi meraih keridhaan-Nya.
إِذْ جَاءَ رَبَّهُ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
… ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci. – Q.S. Ash-Shaaffaat [37]: 84
Wallahu'alam.