Memahami Interaksi Unsur-unsur Pembentuk Manusia
Abu Hamid Al-Ghazali (1058 - 1111 M), seorang ulama besar muslim yang telah berhasil meraih pengenalan diri dan memahami tujuan penciptaannya, mengatakan dalam kitabnya Ihya Ulumuddin (menghidupkan ilmu-ilmu ad-diin) bahwa sedikit sekali orang yang dianugerahi Allah pemahaman tentang jiwa dan perbedaan antara jiwa dan ruh. Itu di masa keemasan Islam. Di masa ini, lebih sedikit lagi.
Di sisi lain, semakin modern zaman, keraguan dan ambiguitas harus semakin berkurang, sementara definisi harus semakin jelas—terutama tentang hal-hal yang terkait pemahaman agama. Melalui para hamba Allah yang ditugaskan untuk membuka hal tersebut di zaman ini, pemahaman tentang jiwa maupun perbedaannya dengan ruh pun semakin lama menjadi semakin jelas dan terbuka.
Jasad
Unsur pertama adalah jasad. Kita mengenalnya dengan istilah “tubuh” atau “badan”. Bahasa Sanskrit mengistilahkannya dengan raga. Dalam kitab-kitab tasawuf, digunakan juga istilah jism atau jisim. Jasad ini—tepatnya turunan dari jasad Adam a.s., manusia pertama—merupakan gabungan dari banyak unsur-unsur penciptanya, yang oleh para filsuf di masa Yunani Kuno disebut bahwa unsur-unsur pembentuknya adalah AFEW: air (udara), fire (Api) , earth (tanah) dan water (air). Semua unsur ini adalah sama dengan unsur-unsur bumi, tempat di mana manusia tinggal.
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ مِن سُلَالَةٍ مِّن طِينٍ
Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati tanah. – Q.S. Al-Mu’minun [23]: 12
Unsur-unsur ini digabung, disatukan, diikat oleh sesuatu yang berasal dari Sang Maha Hidup, yaitu Ruh. Karena berasal dari Sang Maha Hidup, maka keberadaannya pun membuat sesuatu menjadi hidup. Karena adanya ruh maka unsur-unsur itu menyatu dan membentuk sesuatu yang lain, yang hidup. Jika ruh diangkat, maka unsur-unsur itu akan kembali terurai ke sifat-sifatnya semula, menjadi unsur-unsur saripati tanah.
Kedudukan jasad hanyalah sebagai pakaian atau kendaraan bagi pengendaranya, sang jiwa. Jika pengendaranya sudah berangkat ke alam yang berbeda, jasad—pakaiannya atau kudanya—akan kembali terurai menjadi unsur-unsur kebumian.
Alam tempat tinggal jasad, mulai dari bumi kita sendiri, planet lain, bintang gemintang, hingga batas alam semesta fisik yang terjauh, disebut alam mulk. Pendeknya, semua alam yang masih memiliki bentuk fisik dan terkena hukum-hukum alam fisik, adalah alam mulk. Kata mulk (dari Bahasa Arab m-l-k) bermakna “kedaulatan”. Alam fisik ini adalah alam di mana insan diberi kedaulatan atau mandat oleh Allah Ta’ala, untuk ikut mengaturnya—tepatnya, untuk memakmurkannya. Secara kedekatan, alam mulk adalah alam yang paling jauh dari Allah Ta’ala.
Alam tempat tinggal jasad, mulai dari bumi kita sendiri, planet lain, bintang gemintang, hingga batas alam semesta fisik yang terjauh, disebut alam mulk. Semua alam yang masih memiliki bentuk fisik dan terkena hukum-hukum alam fisik, adalah alam mulk.
Alam mulk disebut juga dengan sebutan alam syahadah (alam persaksian), karena di alam yang inilah manusia harus berhasil mempersaksikan Allah Ta’ala dengan sebenar-benarnya.
Nafs (Jiwa)
Unsur kedua, adalah nafs. Nafs, dalam bahasa kita disebut jiwa. Bahasa sanskrit menyebutnya dengan istilah sukma. Dalam bahasa Arab kata nafs kerap dimaknai sebagai diri, karena sesungguhnya yang disebut diri manusia bukanlah jasadnya, melainkan jiwanya. Nafs adalah diri yang seharusnya menjadi pengendali atau pengendara jasad. Nafs tidak sama dengan ruh.
Jika jasad terbuat dari satuan unsur-unsur saripati tanah, maka jiwa dibentuk dari cahaya. Bukan cahaya fisik berupa gelombang elektromagnetik seperti cahaya lampu senter, melainkan cahaya ilahiah, nur ilahi. Jika dimisalkan bahwa Allah adalah sumber cahaya, maka nafs diciptakan dari cahaya yang memancar dari sumber cahaya tersebut. Nafs pada dasarnya tidak membutuhkan ruh untuk hidup—nafs yang berasal dari cahaya Allah telah hidup walaupun tanpa ruh.
Nafs-lah yang menjadi hakikat ke-insan-an seseorang. Nafs-lah yang menjadi sasaran pendidikan Allah Ta’ala, untuk diajari tentang Dia dan ayat-ayat-Nya, sehingga ia mampu mempersaksikan bahwa segala sesuatu, termasuk dirinya sendiri, adalah Al-Haqq—Al-Haqq adalah salah satu nama Allah Ta’ala.
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ ۗ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
Akan Kami perlihatkan ayat-ayat kami hingga seluruh ufuk dan dalam nafs-nafs mereka sendiri, hingga menjadi jelas bagi mereka bahwa itu adalah Al-Haqq. Tidakkah cukup bahwa Rabb-mu, sesungguhnya Dia, atas segala sesuatu, menjadi saksi? – Q.S. Fushshilat [41]: 53
Sedikit mengoreksi dugaan umum, bahwa ketika telah menyaksikan dengan sebenar-benarnya bahwa di dalam diri terdapat Al-Haqq sebagaimana tercantum dalam ayat di atas, itu tidak sama dengan mempersaksikan bahwa diri adalah Allah. Itu lebih kepada berhasil melihat dan mempersaksikan bahwa segala sesuatu, termasuk diri sendiri, adalah ayat Allah, dan menjadi salah satu tempat di mana Allah Ta’ala menyimpan Al-Haqq, kebenaran tertinggi, yang berhasil dipahaminya.
Untuk tujuan mengenal ayat-ayat Allah dan Al-Haqq inilah nafs ditempatkan di alam mulk—alam kita ini—dan diberi kendaraan sekaligus pakaian yang sesuai untuk hidup di alam mulk, karena berasal dari alam yang sama: jasad. Meski demikian, nafs sesungguhnya bukan penghuni alam mulk. Ia berasal dari alam yang disebut alam malakut, alam yang merupakan tempat natural bagi jiwa-jiwa suci dan malaikat.
Namun, bagi jiwa-jiwa yang belum suci dan masih membawa dosa ketika meninggalkan alam mulk, mereka terikat untuk disucikan di sebuah alam perantara yang disebut alam qubr (alam kubur). Alam qubr adalah perantara (barzakh) antara alam dunia (mulk) dan alam malakut.
Nafs inilah yang harus berubah, dari kondisi terendah menjadi kondisi sebagaimana seharusnya. Perubahan kondisi nafs adalah syarat agar Allah mengubah kondisi insan. Kita mengubah keadaan nafs, maka Allah pun akan mengubah keadaan kita secara menyeluruh.
Nafs inilah yang harus berubah, dari kondisi terendah menjadi kondisi sebagaimana seharusnya. Perubahan kondisi nafs adalah syarat agar Allah mengubah kondisi insan. Kita mengubah keadaan nafs, maka Allah pun akan mengubah keadaan kita secara menyeluruh.
إِنَّ اللَّـهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ
Sesungguhnya tidaklah Allah akan mengubah keadaan suatu kaum, hingga mereka mengubah keadaan nafs-nafs (jiwa-jiwa) mereka.” – Q.S. Ar-Ra’d [13]: 11
Nafs sendiri, berdasarkan tingkat kesuciannya, terbagi menjadi tiga:
1. Nafs Ammarah bi Su’
Pertama, tingkat nafs yang terendah, disebut nafs ammarah bi-su’ (nafs yang memerintah dengan keburukan, atau mengajak pada keburukan—bukan “nafsu amarah”).
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Dan tidaklah aku menyatakan jiwaku bebas dari kesalahan. Sesungguhnya nafs itu selalu memerintah dengan keburukan (ammaratu bi su’) kecuali yang dirahmati Rabb-ku. Sesungguhnya Rabb-ku Maha Pengampun, Maha Penyayang. – Q.S. Yusuf [12]: 53
Ini adalah nafs yang masih didominasi oleh hawa nafsu dan syahwatnya sendiri, sehingga ia selalu diajak, diperintah atau dibawa ke arah keburukan oleh hawa nafsu dan syahwatnya—dan ia tidak mampu melepaskan dirinya. Ia masih terikat dengan (sifat-sifat) kejasadiahannya sendiri.
Proses pertama di jalan taubat adalah membebaskan nafs dari perbudakan ini: membebaskan nafs dari diperbudak oleh hawa nafsu dan syahwatnya sendiri.
2. Nafs Lawwamah
Tingkat nafs yang sudah mulai menyadari bahwa ia dikuasai oleh hawa nafsu dan syahwatnya dan tidak kuasa membebaskan dirinya, disebut nafs lawwamah—berarti “nafs yang amat menyesali (diri)”.
وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ
Dan Aku bersumpah dengan nafs al-lawwamah (nafs yang menyesali diri). – Q.S. Al-Qiyamah [75]: 2
Nafs lawwamah adalah nafs yang kadang terbawa oleh sifat jasadinya, namun kadang menyesal dan rindu untuk lepas dari kungkungan sifat-sifat jasadinya. Ia merindukan “langit”, namun juga mencintai duniawi.
Nafs pada tingkat lawwamah ini adalah nafs yang mulai ingin bertaubat, ingin menjadi baik, dan ingin lepas dari perbudakan hawa nafsu dan syahwatnya.
3. Nafs Muthma’innah
Nafs muthma’innah adalah jiwa yang sudah tidak lagi dikuasai oleh hawa nafsu dan syahwatnya, dan sudah tidak lagi terikat oleh sifat-sifat jasadinya. Ia tidak lagi terombang-ambing antara perbuatan dan penyesalan. Ia hanya tunduk dan mencintai penciptanya—sosok yang pertama kali dilihatnya sejak ada di alam semesta ini—yaitu Allah SWT. Karena itulah ia menjadi nafs muthma’innah (jiwa yang tenang), jiwa yang berhasil kembali ke martabatnya yang tertinggi setelah menempuh jalan pertaubatan dan menyucikan dirinya, dengan penuh pengetahuan tentang Allah dan ayat-ayat-Nya di dalam dirinya sendiri maupun di seluruh penjuru ufuk, yang berhasil ia pelajari di alam mulk. Nafs tingkatan inilah yang harus kita kenali dalam perjalananan taubat, karena nafs muthma’innah sajalah yang bisa membuka ilmu-ilmu Allah yang disimpan Allah dalam dadanya.
Nafs muthma'innah (jiwa yang tenang), jiwa yang berhasil kembali martabatnya yang tertinggi setelah menempuh jalan pertaubatan dan menyucikan dirinya, dengan penuh pengetahuan tentang Allah dan ayat-ayat-Nya di dalam dirinya sendiri.
Nafs muthma’innah inilah yang telah sepenuhnya tunduk pada Allah sehingga sepenuhnya ridha kepada Rabb-nya, dan Rabb-nya pun telah ridha kepadanya. Inilah kedudukan nafs para hamba Allah.
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ﴿٢٧﴾ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ﴿٢٨﴾ فَادْخُلِي فِي عِبَادِي ﴿٢٩﴾ وَادْخُلِي جَنَّتِي ﴿٣٠﴾
Wahai nafs muthma’innah (jiwa yang tenang), kembalilah, pada Rabb-mu dengan ridha lagi diridhai-Nya. Masuklah menjadi hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga-Ku. – Q.S. Al-Fajr [89]: 27-30
Inilah tujuan penyucian jiwa: agar jiwa manusia bisa melepaskan diri dari perbudakan oleh hawa nafsu dan syahwatnya, sehingga menjadi jiwa yang tenang atau nafs muthma’innah.
Ruh
Unsur ketiga dalam diri insan adalah yang disebut dengan ruh. Jamaknya, disebut arwah—ruh yang banyak. Ruh ini berasal dari yang Maha Hidup, yang ditiupkan-Nya ke Adam a.s. sehingga jasadnya menjadi hidup. Jika nafs dan para malaikat berasal dari alam malakut, ruh berasal dari alam yang lebih tinggi, yaitu alam jabarut, atau alam arwah. Alam jabarut ini adalah alam yang paling dekat dengan Allah Ta’ala.
Ruh adalah daya hidup. Dan jika diibaratkan ruh adalah api, cahaya apinya saja pun sudah menghidupkan jasad, alih-alih apinya. Ruh berasal dari Allah, dan pasti akan kembali pada-Nya. Dengan demikian, ungkapan “semoga arwahnya (arwah: jamak dari “ruh”) diterima Allah” ketika seseorang meninggal dunia adalah tidak tepat, sebab ruh berasal dari Allah dan pasti akan kembali kepada-Nya. Yang seharusnya didoakan ketika meninggal adalah jiwa (nafs), bukan ruh, karena jiwa lah yang akan menempuh perjalanan berikutnya, dan harus mempertanggungjawabkan semua yang dia lakukan di dunia.
Nafakh Ruh
Ruh yang menghidupkan, yang biasa kita sebut dengan ruh saja, sebenarnya adalah nafakh ruh. Secara harfiah, nafakh ruh berarti “ruh tiupan”—ruh yang ‘ditiupkan’ Allah ta’ala pada jasad Adam a.s. Ia adalah ruh yang menghidupkan jasad.
ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِن رُّوحِهِ ۖ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۚ قَلِيلًا مَّا تَشْكُرُونَ
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya ruh dari-Nya (nafakha fihi min Ruhi), dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur. – Q.S. As-Sajdah [32]: 9
Ruh Al-Amin
Ruh Al-Amin adalah gelar yang dinisbatkan kepada malaikat Jibril a.s. Malaikat Jibril a.s. adalah termasuk malaikat yang telah diperkuat Allah Ta’ala dengan Ruhul-Qudus di dalam dirinya. Ruh Al-Amin, sebagaimana para malaikat lainnya, berasal dari alam malakut—alamnya para malaikat dan jiwa-jiwa yang suci. Kedudukan Jibril a.s. diantara para malaikat adalah seperti kedudukan Rasulullah SAW diantara para manusia.
Ruhul-Qudus
Ruhul-Qudus adalah esensi ruh insan yang paling murni dan paling suci, yang hadir ke dalam diri insan sebagai pembawa kabar dan pengetahuan-pengetahuan ilahiah di dalam diri. Jika tadi dikatakan bahwa cahaya api ruh telah menghidupkan jasad, Ruhul-Qudus adalah apinya, sumber cahaya dari cahaya ruh yang menghidupkan tersebut.
Ia berasal dari alam Jabarut—alam yang terdekat dengan Allah ta’ala, berbeda dengan Ruhul Amin yang berasal dari alam Malakut.
Jika manusia biasa hanya menerima cahaya apinya saja, maka ruh ini—apinya, sumber cahanyanya—hanya dianugerahkan pada hamba-hamba Allah yang telah berhasil menyucikan nafs-nya ke tingkatan nafs muthma’innah. Mereka yang dianugerahi Ruhul-Qudus berperan sebagai cahaya Allah bagi alam semesta sekelilingnya.
Ruhul-Qudus adalah kuasa Allah ta’ala yang dianugerahkan pada hamba-hamba yang telah berhasil mengenali dirinya dan tujuan penciptaannya. Kuasa Allah, atau—qudrah Allah—ini adalah untuk menguatkan si hamba dalam melaksanakan tujuan penciptaannya, melaksanakan misi hidupnya.
قُلْ نَزَّلَهُ رُوحُ الْقُدُسِ مِن رَّبِّكَ بِالْحَقِّ لِيُثَبِّتَ الَّذِينَ آمَنُوا وَهُدًى وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ
Katakanlah: "Ruhul-Qudus menurunkan itu dari Rabb-mu dengan Al-Haqq, untuk mengokohkan orang-orang beriman, lagi menjadi petunjuk dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri".- Q. S. An-Nahl [16] : 102
Seorang manusia dianugerahi Ruhul-Qudus untuk memperkuatnya dalam melaksanakan titah Rabb-nya, atau amr Rabb-nya. Dalam Al-Qur’an, Ruhul-Qudus ini disebut juga dengan Ruh min amri Rabbi yang berarti ‘ruh yang berasal dari amr Rabb’. Amr bermakna ‘urusan’, ‘mandat’ atau ‘titah’.
Melalui anugerah Ruhul-Qudus ini seorang manusia akan memahami hakikat terdalam makna-makna batin Al-Qur’an, dan memahami ayat-ayat Allah di seluruh penjuru ufuk alam semesta, maupun di dalam diri manusia sendiri (lihat Q. S. Fushshilat [41] : 53). Dengan menyaksikan dengan sebenar-benarnya bahwa segala sesuatu adalah ayat Allah, maka seorang manusia—diperkuat oleh Ruhul-Qudus—pun menjadi saksi Allah (syuhada) secara hakiki.
Ruhul-Qudus adalah anugerah tertinggi yang bisa diterima seorang manusia. Ketika pengetahuan-pengetahuan ilahiyah yang tinggi tidak dimiliki manusia dan alam semesta, kehadiran Ruhul-Qudus inilah yang menjadikan seorang manusia menjadi sumber cahaya bagi alam semesta di sekitarnya—seseorang yang dianugerahi Ruhul-Qudus kerap disimbolkan dengan matahari atau api yang meliputi kepala—karena ia memahami ilmu-ilmu yang terdalam dan tertinggi langsung dari sisi Allah ta’ala.
Hanya sedikit pengetahuan tentang Ruhul-Qudus atau ruh min amr (ruh dari amr Rabb) ini yang dibuka kepada manusia, kecuali bagi hamba-hamba yang dianugerahi ruh ini oleh Allah. Sebagaimana firman Allah,
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُم مِّنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: "Ruh dari amr Rabb-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit. - Q. S. Al-Isra [17] : 85
Syahwat dan Hawa Nafsu
Itulah tiga unsur utama pembentuk manusia: jasad (jism, badan), jiwa (nafs), dan ruh. Ketiga unsur ini saling terkait dan berinteraksi. Nah, dari interaksi ketiga unsur ini, kita akan mengenal beberapa unsur lain.
Syahwat
Ketika nafs ditugaskan untuk hidup di dunia, ia diletakkan ke dalam kendaraan jasad. Jasad berasal dari bumi, dan ia pun sangat menyukai kesenangan-kesenangan yang berasal dari alamnya. Ia menyukai makanan dan minuman, lawan jenis, hubungan seksual, kecantikan atau ketampanan, dan semacamnya. Syahwat adalah daya-daya yang berasal dari jasad, yang memberi pengaruh pada nafs. Fungsi syahwat adalah untuk kelangsungan hidup si jasad di bumi ini—ia tidak dapat hidup dengan baik di dunia jika tidak makan, minum, dan berketurunan.
Dari penyatuan antara nafs dan jasad, daya-daya jasadi ini memberi pengaruh pada nafs yang suci, yang masuk ke dalam jasadnya—bahkan mendominasi nafs-nya. Dalam hal ini, orientasi nafs-nya menjadi sama dengan orientasi syahwat, sehingga ia kehidupannya di dunia hanya untuk mencari hal-hal yang digemari oleh syahwatnya itu.
Syahwat sendiri bukan sesuatu yang buruk, sebenarnya. Fungsi syahwat adalah untuk kelangsungan hidup jasad di alam dunia. Namun syahwat baru menjadi buruk jika ia menguasai, mendominasi, atau memperbudak tuannya: nafs.
Syahwat adalah daya-daya yang berasal dari jasad, yang memberi pengaruh pada nafs. Fungsi syahwat adalah untuk kelangsungan hidup si jasad di bumi ini—ia tidak dapat hidup dengan baik di dunia jika tidak makan, minum, dan berketurunan.
Jadi, dalam tingkatan nafs tadi, nafs ammarah bi su’ adalah nafs yang dikuasai syahwatnya. Nafs Lawwamah adalah nafs yang dipengaruhi syahwatnya. Sedangkan nafs muthma’innah adalah nafs yang bebas dari syahwatnya, bahkan syahwatnya telah tunduk pada sang nafs.
Hawa Nafsu
Hawa Nafsu berbeda dengan syahwat. Jika dalam penyatuan jiwa dan jasad tadi, daya-daya jasadi yang memengaruhi jiwa disebut syahwat, maka di sisi lain, penyatuan ini juga melahirkan “anak-anak”, yaitu oknum-oknum batin yang sifatnya tengah-tengah, antara jasad dan jiwa. Sesuai namanya, ia adalah hawa dari nafs—sekadar hawanya, dan bukan nafs yang sejati. Ia tidak jasadi sepenuhnya, namun juga tidak malakuti sepenuhnya.
Contoh hawa nafsu ini adalah marah, kesombongan, bangga diri, malas, takut, dendam, ragu, gelisah, putus asa, bahkan hawa nafsu beragama seperti ingin puasa terus-menerus, ingin shalat terus-menerus, dan tidak peduli dengan tanggung jawab mencari penghidupan, misalnya.
Hawa Nafsu ini ribuan jumlahnya dalam diri setiap manusia. Fungsinya adalah untuk melindungi dan membantu nafs—ia disebut sebagai tentara batin. Mereka semua adalah prajurit, yang seharusnya dikomando oleh nafs muthma’innah untuk mencapai tujuannya, yaitu melaksanakan mandat yang dibawanya dari Allah ta’ala. Namun, persoalannya adalah ketika para prajurit—syahwat dan hawa nafsu—justru menguasai pimpinannya dan mengambil alih kepemimpinan. Nafs, yang ditempatkan di dunia ini untuk sebuah tujuan agung: menjadi perpanjangan kuasa Allah di muka bumi untuk memakmurkan alam semesta (khalifah), pada akhirnya hanya hidup di dunia untuk tujuan yang sangat dangkal: sekadar untuk memenuhi keinginan syahwat dan hawa nafsunya saja.
Insan Kamil: Cahaya Allah bagi Alam Semesta
Al-Qur’an juga menggambarkan struktur jasad, jiwa (nafs) dan Ruhul-Qudus ini melalui perumpamaan yang indah tentang sebuah misykat (menyerupai ceruk/relung di sebuah dinding yang oleh masyarakat Arab saat itu biasa digunakan untuk meletakkan lampu penerangan)—sebuah penggambaran tentang potensi besar manusia yang sempurna (Insan Kamil) sebagai Cahaya Allah.
اللَّـهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ ۖ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ ۖ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِن شَجَرَةٍ مُّبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَّا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ ۚ نُّورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ يَهْدِي اللَّـهُ لِنُورِهِ مَن يَشَاءُ ۚ وَيَضْرِبُ اللَّـهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ ۗ وَاللَّـهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Allah cahaya petala langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya bagaikan sebuah 'misykat' yang di dalamnya terdapat 'misbah' (pelita yang terang). Misbah tersebut di dalam 'zujajah' (kaca), kaca itu seolah seperti 'kaukab' (bintang) yang berkilau dinyalakan oleh (minyak) dari pohon yang banyak berkahnya, pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi walau tanpa disentuh api. Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa-siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. – Q.S. An-Nuur [24]: 35
Tiga komponen utama yang dimaksud di dalam ayat itu disimbolkan melalui Misykat (Jasad), yang di dalamnya terdapat Misbah (Ruhul-Qudus, seperti pelita yang terang benderang) yang menghidupkan Zujajah (qalb, hati yang merupakan ‘rasa’ jiwa atau nafs).
Misykat melambangkan wujud jasad insan manusia yang dibangun dari aspek fisik al-ardh (tanah, kebumian). Misykat jasad ini merupakan wadah bagi qalb yang berada di dalam nafs (jiwa) yang suci, yang di ayat tersebut dilambangkan sebagai zujajah (bola kaca yang jernih). Terang dan jernihnya qalb ini menjadi syarat agar cahaya misbah (Ruhul-Qudus)—tentu dengan kehendak-Nya—memancar keluar menerangi bola kaca zujajah. Zujajah yang terang ini bagaikan sebuah bola langit malam (kaukab) yang gemerlap oleh taburan benda-benda langit.
Bersinarnya kaukab kalbu ini karena adanya minyak yang menyalakannya, minyak yang bercahaya walau tanpa disentuh api, minyak yang keluar dari pohon yang banyak berkahnya. Pohon yang tidak tumbuh di sebelah barat (di tempat tenggelamnya matahari Al-Haqq—yakni Jasad), tidak pula di sebelah timur (di tempat terbitnya matahari Al-Haqq—yakni alam ruh/alam jabarut). Pohon ini tumbuh tidak di ufuk diri, tetapi tumbuh di tengah-tengah antara aspek Jasadi dan aspek Ruhi, yaitu di nafs insan.
Manusia yang tidak menyala qalb-nya oleh Nur Iman dalam nafs-nya, tidak akan bisa menyalakan zujajah dalam qalb-nya (tidak dianugerahi Ruhul-Qudus) sehingga tidak pernah tersedia di dalamnya singgasana cahaya bagi api-Nya. Ini artinya, ia tidak akan pernah menjadi khalifah Allah, walau hanya khalifah bagi dirinya sendiri.
Manusia yang tidak menyala qalb-nya oleh Nur Iman dalam nafs-nya, tidak akan bisa menyalakan zujajah dalam qalb-nya sehingga tidak pernah tersedia di dalamnya singgasana cahaya bagi api-Nya.
Insan seperti ini bagaikan rumah dengan lorong-lorong yang gelap gulita karena kusam tubuhnya dan padam lampunya, tidak diisi melainkan oleh tipuan ilusi, hawa nafsunya dan jejak syaithan. Tidak ada seorang pun yang mampu menghidupkan rumah seperti ini kecuali Allah Azza wa Jalla, tempat tumpuan harapan seluruh alam. []