Iedul Fitri berasal dari kata "ied" yang secara asli bermakna "kembali". Ia juga menjadi bermakna "hari raya" karena merujuk pada hari yang "kembali" setiap tahun; dan kata "fithri" yang memiliki arti "pemecahan". Jadi Iedul Fitri artinya adalah hari raya pemecahan, yakni pemecahan puasa. Yang memecahkan puasa adalah makanan atau minuman pertama pada hari itu. Orang Arab menyebutnya fithr atau futhur, kita menyebutnya “sarapan”. Orang Inggris menyebutnya dengan padanan harfiah dari fitri, breakfast.
Tidak salah jika Iedul Fitri diartikan dengan hari raya sarapan. Disunnahkan makan pagi sebelum Shalat Iedul Fitri. Zakat fitrah, atau lebih tepatnya zakat fitri, adalah zakat untuk sarapan, yang diberikan dalam bentuk makanan pokok yang biasa dimakan.
Fitri adalah turunan dari fa-tha-ra. Makna dasarnya: membelah, memecahkan, merobek. Namun delapan kali Al-Qur’an menggunakan kata fa-tha-ra untuk “menciptakan”. Misalnya:
إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا ۖ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada yang menciptakan (fathara) lelangit dan bumi dengan lurus... – Q.S. Al-An'aam [6]: 79
Teduh adalah sifat pohon, yakni melindungi seseorang dari panas matahari. Jika kita mengatakan “matanya teduh”, yang kita maksud tentu bukan mata yang melindungi kita dari panas matahari. Tapi jelas ada konotasi yang kita turunkan dari sifat pohon di atas: membuat suasana lebih sejuk, menetralisir “panas” dari sekitar.
Penciptaan dengan kata fa-tha-ra mempunyai konotasi yang sama: membelah, memecahkan, merobek. Ciptaan Allah SWT di alam semesta adalah pecahan dari asma-Nya (nama-nama-Nya). Alam semesta adalah hamparan keping-keping mozaik dari asma-Nya yang agung.
Dari nama Ar-Rahiim (Yang Maha Penyayang), di alam kita melihat penyayangnya seorang ibu menyusui bayinya, seekor burung melawan ular untuk melindungi anaknya, atau sebuah yayasan berusaha mengentaskan kemiskinan di Afrika. Demikian seterusnya untuk nama-nama lainnya. Manusia mengenali nama-Nya secara bertahap melalui keping-keping mozaik yang Dia tebarkan di alam semesta (bagaimana mungkin kita memahami Maha Pengampun-Nya, kalau di bumi tidak ada orang yang mengampuni manusia lainnya?).
Setiap orang dan setiap sesuatu mempunyai peran yang unik dalam mengejawantahkan asma-Nya. Peran itu hanya bisa dimainkan dengan karakter yang Dia tanamkan dalam diri masing-masing pemerannya. Karakter inheren manusia ini melekat sejak awal mula penciptaan. Sudah ada sejak dalam rancangan-Nya. Karakter inheren ini dalam bahasa Arab dikenal sebagai fitrah, yang juga merupakan kata benda dari fa-tha-ra.
Fitrah didefinikan dalam Kamus Al-Munjid antara lain sebagai “sifat yang dengannya setiap ciptaan yang ada (al-maujud) disifati sejak awal waktu penciptaannya”. Al-Qur’an menyebutkan fitrah ini sebagai rancangan (cetak biru) penciptaan manusia:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّـهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّـهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَـٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah): (Itu adalah) fitrah Allah, yang Dia telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tiada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang kokoh, tetapi sebagian besar manusia tidak mengetahuinya."
– Q.S. Ar-Ruum [30]: 30
Ayat di atas secara eksplisit menyatakan bahwa manusia diciptakan atas fitrah Allah SWT, dan tidak ada penggantian dalam ciptaan itu. Ayat itu juga menyiratkan bahwa agama yang tegak adalah dengan menjalani hidup sebagaimana fitrah dirinya, yakni karakter inheren dalam rancangan penciptaannya.
Setiap orang berbeda dari orang lain dalam banyak hal. Yang satu menikmati pembicaraan, yang lain tersiksa karena hal yang sama. Itu menunjukkan bahwa setiap manusia adalah sekeping mozaik yang unik. Keping mozaik mempunyai arti yang besar ketika dia menyatukan diri dalam skema besar mozaik itu. Dengan cara menempati celah yang memang secara khusus disediakan untuknya, pada akhirnya akan terbentuk citra yang utuh dari mozaik itu.
Orkestra dibentuk oleh kombinasi permainan berbagai alat musik, dalam bimbingan dirigen sang penata. Seorang peniup saksofon yang berimprovisasi semata untuk menampilkan kemegahan dirinya tentu akan merusak acara. Hal yang terbaik yang bisa dilakukannya adalah mengalir bersama dalam simfoni orkestra.
Ciptaan Allah SWT di alam semesta adalah pecahan dari asma-Nya (nama-nama-Nya). Alam semesta adalah hamparan keping-keping mozaik dari asma-Nya yang agung.
Setiap orang harus bersungguh-sungguh untuk mengenali dirinya dan lalu berjuang untuk mewujudkan misi hidupnya. Dalam konteks ayat di atas (Q.S. Ar-Ruum [30]: 30), membaca diri dan meluluhkan diri dalam mozaik semesta ini adalah misi hidup manusia agar agama tegak dalam dirinya. Meluluhkan diri bukan dalam arti binasa begitu saja, melainkan mengalir bersama alam semesta untuk mengagungkan asma Allah SWT yang tak terperi. Meluluhkan diri seperti ini diistilahkan dalam Al-Qur’an sebagai fana:
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ
وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
Semua yang ada di atasnya fana. Dan kekallah wajah Tuhanmu yang mempunyai kejalalan dan kemuliaan (Q.S. Ar-Rahmaan [55]: 26-27)
Dengan fananya makhluk berakal, di mata makhluk-Nya, wajah Tuhan akan tampil kekal tanpa sekutu bagi-Nya. Lewat ini pulalah alam semesta akan mengenal Allah SWT. Misi hidup seorang manusia adalah mengenal Allah SWT dan menampilkan wajah-Nya melalui keberadaannya. Menjadi bagian dari tangan Tuhan dalam berkarya di dunia, apa pun peran yang untuk itu dia diciptakan.
Keagungan suatu amal tidak bisa diukur dari penilaian manusia. Apakah amal itu dalam rangka melahirkan karya Tuhan di bumi, agar yang tampil adalah wajah-Nya? Itulah ukurannya.
Kita diwajibkan shiyam (puasa) Ramadhan. Shiyam artinya menahan (imsak) atau bersemayam (istiwak). Shiyam-nya matahari adalah diam di titik kulminasi pada tengah siang. Shiyam-nya angin atau air adalah berhenti dan menjadi tenang. Shiyam-nya seorang hamba adalah kekosongan dari tindakan, menahan diri dari melakukan apa yang sebelumnya tidak dilarang. Karena itu, shiyam bukanlah milik hamba, melainkan milik Tuhan.
Allah Azza wa Jalla berfirman, "Setiap amal anak Adam adalah miliknya, kecuali puasa. Karena sesungguhnya puasa itu milik-Ku dan Aku yang akan memberikan balasannya. (H.R. Bukhari)
Iedul Fitri adalah momentum untuk kembali kepada amal tindakan oleh seorang hamba. Hanya saja, kali ini orientasinya tidak lagi demi kepentingan pribadi, melainkan menjadi perpanjangan tangan Allah SWT dalam karya-Nya.[]