Shafwan bin Umayyah berasal dari Bani Jam’i. Bapaknya, Umayyah bin Khalaf, adalah tuan dari Bilal bin Rabah, seorang pembesar Quraisy yang di masa awal kehadiran Islam sangat gigih memerangi Kaum Muslimin.
Shafwan sendiri tidak terusik dengan kehadiran Islam dan Nabi Muhammad SAW. Dia bahkan tidak ikut pasukan Quraisy memerangi Kaum Muslimin dalam Perang Badar, dan berkilah bahwa: “Muhammad tidaklah mengganggu pikiranku.” Shafwan hanya duduk di kejauhan menyaksikan Perang Badar dari atas sebuah bukit, hingga melihat bagaimana ayahnya dan kakaknya terbunuh dalam perang tersebut.
Sepeninggal bapaknya, kini Shafwan bin Umayyah memimpin Bani Jam’i. Dan sejak itu, permusuhannya terhadap Islam muncul, hingga pada suatu ketika pernah menawari sepupunya, Umair bin Wahab, bayaran yang tinggi untuk membunuh Rasulullah SAW, namun hal itu tidak terjadi. Umair yang sempat berhadap-hadapan dengan Rasulullah SAW justru meninggalkannya dan masuk Islam.
Cinta Negeri adalah Sebagian dari Iman
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa saat Nabi SAW diusir dari Mekkah, Beliau berkata:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أُخْرِجَ مِنْ مَكَّةَ : اِنِّي لَأُخْرَجُ مِنْكِ وَاِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكِ أَحَبُّ بِلَادِ اللهِ اِلَيْهِ وَأَكْرَمُهُ عَلَى اللهِ وَلَوْلَا أَنَّ أَهْلَكَ أَخْرَجُوْنِي مِنْكِ مَا خَرَجْتُ مِنْكِ (مسند الحارث – زوائد الهيثمي – ج 1 / ص 460)
“Sungguh aku diusir darimu (Mekkah). Sungguh aku tahu bahwa engkau adalah negeri yang paling dicintai dan dimuliakan oleh Allah. Andai pendudukmu tidak mengusirku darimu, maka aku takkan meninggalkanmu.” – Musnad al-Haris, oleh al-Hafidz al-Haitsami 1/460
Saat Fathu Makkah (Januari 630 M), Pembebasan Kota Mekkah, sebagian dari kaum musyrikin lari meninggalkan kampung halamannya Mekkah, termasuk Shafwan bin Umayyah. Tapi istrinya, Najiyah binti Walid bin Mughirah, memilih tinggal di Mekkah dan masuk Islam.
Umair bin Wahab, yang merupakan sepupu Shafwan dan sahabat lamanya, datang menghadap Rasulullah SAW:
“Wahai Rasulullah, Shafwan bin Umayyah, pemimpin kaumnya, pergi karena takut kepadamu, meninggalkan Mekkah menuju pantai untuk berlayar ke Yaman. Apakah Engkau menjamin keselamatannya?”
“Ia aman,” jawab Rasulullah SAW, dengan serta merta.
“Wahai Rasulullah, jika demikian, berilah aku tanda agar Shafwan tahu bahwa engkau menjamin keselamatannya,” pinta Umair bin Wahab.
Maka Rasulullah SAW pun memberikan sorbannya kepada Umair, agar diberikan kepada Shafwan bin Umayyah sebagai tanda jaminan atas keamanannya.
Umair segera bertolak menuju Jeddah, menyusul Shafwan yang sedang menunggu kapal yang akan membawanya ke Yaman. Sesampainya di Jeddah, Umair mendapati Shafwan hendak menaiki kapal, maka Umair pun memanggilnya:
“Wahai Shafwan, aku jadikan ayah dan ibuku sebagai tebusan! Demi Allah, kembalilah dan jangan hancurkan kehidupanmu! Ini dia sorban sebagai tanda jaminan keamanan untukmu dari Muhammad, dengannya aku datang kepadamu.”
“Celakalah engkau! Menjauhlah dan jangan lagi bicara kepadaku,” sanggah Shafwan.
“Wahai Shafwan, sebaik-baik manusia, selembut-lembut manusia, sekasih-kasih manusia, adalah anak pamanmu, Muhammad. Kekuatannya adalah kekuatanmu, kehormatannya adalah kehormatanmu, kekuasaannya adalah kekuasaanmu,” desak Umair.
“Biarkan aku menempuh jalanku. Aku tidak akan kembali selamanya,” Shafwan bertahan.
“Kembalilah bersamaku ke Mekkah, negerimu dan negeri nenek moyangmu. Engkau adalah putra Mekkah, orang terhormat dalam keluargamu, pemimpin kaummu,” bujuk Umair.
Shafwan pun berkata lirih, “Aku takut kepadanya (Muhammad)”.
“Ia seutama-utama manusia, dan orang yang sangat menyayangi sesamanya,” sahut Umair berusaha meyakinkan. Hingga akhirnya Shafwan turun dari kapal dan kembali ke Mekkah.
Ketika telah sampai di hadapan Rasulullah SAW, Shafwan berkata dari atas tunggangannya: “Wahai Muhammad, Umair datang kepadaku membawa sorbanmu. Ia mengatakan bahwa engkau menjamin keamananku, hingga berani mengajakku untuk datang kepadamu. Jika engkau rela, maka aku akan tinggal. Jika tidak, maka berilah aku tangguh berpikir selama dua bulan dan aku akan pergi.”
Rasulullah SAW menjawab, “Umair benar. Turunlah wahai Abu Umayyah!”
“Tidak, aku tidak akan turun sebelum engkau menentukan tenggat waktu untukku,” jawab Shafwan.
“Baiklah, untukmu waktu empat bulan”, jawab Rasulullah SAW.
Dalam keadaan masih belum memeluk Islam, Rasulullah SAW mengajak Shafwan dalam beberapa ekspedisi, di antaranya ikut serta dalam Perang Khawazin dan Hunain, serta Pengepungan Tha’if. Untuk keperluan peperangan tersebut, Rasulullah bahkan meminjam seratus baju besi dan perlengkapan perang kepada Shafwan.
Selesai peperangan-peperangan tersebut, yang semua dimenangkan oleh Kaum Muslimin, Rasulullah mengajak Shafwan ke sebuah perbukitan yang penuh dengan unta hasil dari rampasan perang (ghanimah). Shafwan sampai keheranan melihat pemandangan di hadapannya.
“Kau heran?”, tanya Rasulullah SAW.
“Ya”, jawab Shafwan.
“Semua itu adalah milikmu,” sahut Rasulullah SAW, yakni sebagai ganti kerusakan atas pinjaman baju besi dan perlengkapan perang yang sudah dipakai Kaum Muslimin.
Ketika itu berkatalah Shafwan, “Tidak ada seseorang yang memiliki kepribadian sebaik ini, kecuali dia adalah seorang nabi. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah”.
Shafwan bin Umayyah tetap tinggal di Mekkah hingga akhir hidupnya (wafat 661 M). Dia tidak pernah meninggalkan Mekkah baik untuk ekspedisi pertempuran maupun mengikuti perpindahan ibukota kaum Muslimin.
Sumber: “Berkas-Berkas Cahaya Kenabian”, Ustadz Muhammad Ahmad Assaf, dan berbagai sumber lain.