Bismillah Ar-Rahman Ar-Rahiim.
Waham (Al-Wahm) adalah sebuah istilah dalam agama yang merujuk pada sebuah bagian atau wilayah dalam alam pemikiran manusia yang terkait dengan pembentukan sebuah keyakinan. Sebagai bandingan, bagian yang terkait dengan fungsi pemahaman dan perenungan disebut Al-Fikr (pikiran), dan yang terkait dengan fungsi ingatan adalah Al-Hifz (memori, ingatan).
Secara sederhana, kita bisa mengatakan bahwa waham adalah sebuah keyakinan yang sudah terbentuk, namun bukan sebuah kebenaran yang mutlak. Secara awam, biasanya kata waham merujuk pada suatu keyakinan yang kokoh, namun salah atau tidak berdasar.
Waham, sesuai fungsinya, adalah bagian dari mekanisme manusia untuk membentuk sebuah keyakinan. Dalam menjalankan fungsinya, ia bisa mengambil bahan baku dari pengalaman, pengamatan, pembelajaran, atau bahkan juga dari ilusi maupun imajinasi. Sebuah keyakinan yang ‘final’ (dalam tanda kutip) yang tertanam dalam alam pikiran seseorang, bisa saja sebenarnya merupakan gabungan dari semua bahan baku itu.
Waham sebenarnya bukan hal yang sama sekali buruk. Ia lebih kepada sebuah pijakan awal. Para ahli hikmah kadang mengumpamakan waham sebagai sebuah anak tangga. Untuk bisa naik ke sebuah pemahaman atau keyakinan yang lebih tinggi, seseorang membutuhkan sebuah pijakan awal ini.
Waham baru menjadi sebuah hal yang buruk, jika ia dianggap sebagai sebuah kebenaran yang tak terbantahkan, yang tidak bisa diubah lagi. Inilah yang menghambat perkembangan kecerdasan maupun spiritual seseorang. Seseorang tidak akan bisa naik lebih tinggi jika ia tidak mau melepaskan pijakan sebelumnya.
Waham menjadi berbahaya bagi perjalanan ruhani seseorang, karena ia sanggup menggelincirkan orang tersebut dari jalan yang benar, justru di saat orang tersebut begitu yakin telah berada di jalan itu.
Lawan dari Al-Wahm adalah Al-Ilm. Al-Ilm bukan sekedar ilmu, sebagaimana yang biasa kita pahami sekarang. Ada kata ‘Al’ di depannya, yang menunjukan sesuatu yang spesifik, yang tertinggi. ‘Al’ kurang lebih bermakna ‘The’ dalam bahasa Inggris. Al-Ilm kurang lebih adalah ‘The Knowledge’, atau ‘The Understanding’, yaitu ilmu atau pemahaman yang berasal dari cahaya Allah, yang dianugerahkan-Nya ke dalam qalb (hati spiritual) insan.
Al-Ilm, lawan dari Al-Wahm, secara sederhana bisa kita katakan sebagai ‘ilmu yang haqq (benar)’.
Memisahkah Waham dari Ilmu yang Benar
Zamzam A. J. T menjelaskan, Al-Haqq bisa dipahami melalui tingkatan-tingkatan. Ilmu (pengetahuan) atau pemahaman seseorang sebenarnya adalah sebuah manifestasi yang turun-temurun, tingkat demi tingkat, dari Al-Haqq yang tertinggi.
Turunan-turunan ini, yang bisa jadi berbentuk sebuah keyakinan, pada dasarnya adalah sebuah skema yang menuntun seseorang untuk sampai ke atas. Ilmu dan pengetahuan kita di suatu jenjang pemahaman tertentu tidak serta merta bisa dikatakan sebagai waham. Ia baru menjadi sebuah waham bila membuat kita hanya berhenti di jenjang tersebut.
Sumber Waham dan Ilmu yang Benar
Sumber ilmu adalah dari cahaya, sementara sumber waham dari kegelapan. Sifat-sifat cahaya tentu tidak sama dengan sifat-sifat kegelapan, meski keduanya juga bertingkat-tingkat.
Zamzam A. J. T juga menasihatkan agar seseorang hendaknya tidak menyimpan pengetahuan yang sifatnya menduga-duga, karena keyakinan yang tumbuh dari dugaan berpotensi akan menjadi waham juga.
Menghilangkan Waham
Waham ini dapat dihilangkan dengan belajar, dengan mendalami pengetahuan sampai tingkat yang detil dan ber-tabayyun (verifikasi, periksa ulang) secara obyektif selama prosesnya.
Hal ini selaras dengan pesan Al-Qur’an Surah An-Najm [53] : 28, yang mengontraskan antara ilmu dengan dzon (prasangka) yang tak akan menuntun seseorang pada Al-Haqq.
وَمَا لَهُم بِهِ مِنْ عِلْمٍ ۖ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ ۖ وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
Dan mereka tidak mempunyai sesuatu ‘ilm (pengetahuan) tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti dzon (persangkaan) sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikit pun terhadap Al-Haqq. –Q.S. An-Najm [53]: 28
Hal ini juga dipertegas di ayat yang lain yang menjelaskan bahwa dzon ini erat kaitannya dengan "menduga-duga" (yakhrushun). Pengetahuan berdasarkan dzon yang menduga-duga inilah yang akan menjadi waham, karena ia bukanlah ilmu yang termanifestasi dari Al-Haqq.
إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
Mereka tidak mengikuti kecuali dzon (prasangka) belaka, dan mereka hanyalah menduga-duga (yakhrushun). –Q.S. Yunus [10]: 66
Yang bisa memverifikasi sebuah pemahaman atau keyakinan yang diperoleh seseorang, apakah pemahamannya itu semata-mata adalah sebuah waham atau bukan, adalah orang yang telah dianugerahi nur ilmu yang terkait dengan urusan tersebut. Dalam sebuah thariqah, biasanya yang mampu melakukan verifikasi adalah Sang Mursyid. Namun, bisa saja nur ilmu tersebut juga diterima oleh seorang salik lain (murid) yang tidak berperan sebagai mursyid.
Ciri-ciri Waham dan Ilmu yang Haqq
Pertanda negatif bahwa pengetahuan kita berisikan waham, bukannya ilmu manifestasi dari Al-Haqq, adalah pengetahuan kita itu melahirkan kegelapan yang lain, seperti sifat mencari-cari kejelekan (tahassus), saling memata-matai (tajassus), saling membenci (hasad) dan suka bergunjing (ghibah).
Rasulullah SAW bersabda:
Berhati-hatilah kalian terhadap dzon (prasangka), karena prasangka itu adalah sedusta-dusta perkataan. Janganlah kalian saling mencari-cari kejelekan (tahassus), saling memata-matai (tajassus), saling hasad, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian, wahai hamba-hamba Allah, orang-orang yang bersaudara. –H.R. Bukhari No. 6064
Juga di dalam suatu ayat yang lain di dalam Al-Qur'an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari dzon (prasangka), sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus) dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. –Q. S. Al-Hujuraat [49]: 12
Sedangkan pertanda positif dari adanya waham, adalah hadirnya keraguan. Keraguan tersebut hadir karena ada waham yang hendak digugurkan (dengan kehendak Allah SWT). Dengan kata lain, keraguan itu tak akan muncul bila tidak ada waham.
Hal ini sangat berbeda dengan ilmu yang berasal dari manifestasi Al-Haqq, yang mengarah pada keyakinan (al-yaqiin) terhadap Al-Haqq. Sesuai tingkatan-tingkatannya, keraguan akan semakin hilang seiring dengan semakin mendekatnya seseorang pada Al-Haqq.
Oleh karenanya, tepatlah ungkapan Imam Al-Ghazali dalam hal ini: “Keraguan adalah pintu awal menuju keyakinan”—karena ada waham yang hendak digugurkan (yakni dipicu oleh keraguan) menuju Al-Haqq (yang melahirkan al-yaqiin sedikit demi sedikit, sesuai dengan tingkatan dan kedekatannya pada Al-Haqq).
Maka, adalah suatu keniscayaan bahwa keraguan tak akan melepaskan cengkeramannya dari diri kita selama masih ada waham yang belum digugurkan. Namun ketika kegelapan keraguan berangsur sirna, maka al-yaqiin pun akan terbit seiring dengan terangnya cahaya Al-Haqq yang menerpa alam pemikiran seorang insan.
Demikianlah hubungan antara waham, Al-Ilm, dan keraguan. Dengan memahami ini, seorang salik akan bisa memperkirakan bagaimana status dari suatu pemahaman yang baru diperolehnya. Di sisi lain, ia tidak bisa menilai bahwa keyakinan orang lain adalah sebuah waham atau bukan, karena tingkat pemahaman maupun kedekatan seseorang dengan Al-Haqq memang berbeda-beda.
Seseorang, jika belum dianugerahi nur ilmu yang terkait, tidak akan pernah bisa menilai secara obyektif (dari sudut pandang Al-Haqq) bahwa pemahaman orang lain hanyalah sebuah waham. Bagaimana seseorang akan memahami turunan-turunan Al-Haqq, akan sangat terkait pada tingkatan pemahaman di mana ia berada.
Wallahu'alam bishowwab.