Mu'adz bin Jabal adalah seorang pemuda yang sedang tumbuh dewasa di Yatsrib, pada masa-masa ketika cahaya petunjuk Allah sedang bersinar terang dan menyebar luas sepanjang semenanjung Arab. Mu'adz adalah seorang pemuda tampan bermata hitam tajam dengan rambut ikal, yang menarik perhatian siapa pun yang melihatnya. Di usianya yang masih belia ia sudah dikenal dengan kecerdasannya.
Mu'adz memeluk Islam di usia 18 tahun dalam bimbingan Mus'ab bin Umair, seorang sahabat yang diutus oleh Rasulullah s.a.w. untuk berdakwah ke Yatsrib di sebelum periode hijrah. Mu'adz kala itu termasuk dalam tujuh puluh dua warga Yatsrib yang berangkat ke Mekkah untuk menemui Rasulullah s.a.w, kira-kira satu tahun sebelum masa hijrah. Mereka menemui Rasulullah di rumah Beliau, dan kemudian menemui Beliau lagi di lembah Mina di luar Mekkah, sebuah tempat bernama Aqabah. Di sinilah para penduduk Yatsrib yang baru memeluk Islam, termasuk beberapa perempuan di dalamnya, bersumpah setia untuk selalu mendukung dan melindungi Rasulullah s.a.w. dalam kondisi apapun. Peristiwa ini disebut dengan perjanjian Aqabah kedua. Mu'adz muda termasuk di antara mereka yang ketika itu bersumpah dengan menggenggam tangan Rasulullah s.a.w. yang diberkahi.
Sekembalinya ke Yatsrib, Mu'adz dan beberapa kawan sebayanya membentuk sebuah gerakan kampanye untuk mengeluarkan segala macam berhala dari rumah-rumah di Yastrib. Kampanye ini membuat salah satu orang terkemuka di kota itu, Amr bin al-Jumuh, simpati sehingga memeluk Islam dan memperkuat persaudaraan kaum Muslim di sana.
Ketika Rasulullah s.a.w. telah hijrah dan pindah ke Yatsrib, yang kemudian nama kota itu Beliau ganti menjadi Madinah, Mu'adz bin Jabal sering sekali menemani Beliau. Dari Rasulullah s.a.w. ia mempelajari Al-Quran, belajar tentang syariat, dan agama Islam secara utuh. Sedemikian rupa hingga ia menjadi sahabat yang paling ahli dalam Diin Al-Islam, sehingga Mu'adz selalu dimintai fatwa terkait perbedaan pendapat yang kadang terjadi di antara orang-orang.
Ilmunya diterimanya langsung dari Rasulullah tanpa melalui jembatan guru-guru lain. Rasulullah berkata, "Orang yang paling berilmu di antara umatku mengenai perkara halal dan haram, adalah Mu'adz bin Jabal."
Hal ini tidak mengejutkan. Ia dididik langsung oleh Rasulullah s.a.w. dan sangat banyak menerima pengajaran ilmu dari beliau. Ia adalah salah satu murid terbaik yang dihasilkan oleh seorang guru terbaik. Ilmu yang dimilikinya masih sangat otentik, yang diterimanya langsung dari Rasulullah s.a.w. tanpa melalui jembatan guru-guru lain. Rasulullah s.a.w. pernah berkata, "Orang yang paling berilmu di antara umatku mengenai perkara halal dan haram, adalah Mu'adz bin Jabal."
Salah satu sumbangsih terbesar dari seorang Mu'adz, khususnya kepada umat Muhammad, adalah kontribusi beliau sebagai salah satu dari enam orang yang mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran di masa Rasulullah s.a.w. masih hidup.
Setelah peristiwa pembebasan kota Mekkah (Futuh Mekkah), jumlah kaum Muslim semakin bertambah banyak. Rasulullah s.a.w. menyadari adanya kebutuhan beberapa orang guru untuk mengajari dasar-dasar keislaman kepada para pemeluk yang baru, agar membuat mereka memahami syariat Islam maupun esensi ajarannya. Sebelum pulang ke Madinah, Beliau menunjuk Attab bin Usay sebagai wakil Beliau di Mekkah, dan menugaskan Mu'adz bin Jabal sebagai pendamping Attab dalam tugasnya mengajarkan Al-Quran dan agama.
Setelah Rasulullah s.a.w. kembali pulang ke Madinah, datanglah beberapa orang utusan dari negeri Yaman menyatakan keislaman mereka, dan keislaman para penduduk Yaman, kepada Rasulullah s.a.w. Atas keislaman mereka, mereka meminta adanya seorang pembimbing yang Rasulullah tunjuk untuk mereka, yang dapat mengajarkan Islam kepada penduduk Yaman. Untuk memenuhi harapan mereka ini, Rasulullah s.a.w. pun membentuk sebuah tim yang terdiri dari orang-orang yang Beliau percaya untuk mengajarkan agama, dan mengamanahi Mu'adz bin Jabal sebagai amir dari kelompok yang diutus Rasulullah kepada penduduk Yaman ini. Sesaat sebelum melepas Mu'adz dan sahabat-sahabatnya, Rasulullah s.a.w. menanyakan beberapa hal pada Mu’adz untuk menunjukkan kesiapannya.
"Ya Mu'adz, dengan berdasarkan apa engkau akan menetapkan sesuatu di sana?"
"Dengan Kitab-Nya," jawab Mu'adz.
"Bagaimana jika engkau tidak menemukan jawaban di dalamnya?"
"Maka aku menetapkan berdasarkan sunnah Rasulullah."
"Bagaimana jika tidak engkau temukan jawaban di dalamnya?"
"Maka aku akan melakukan ijtihad untuk menetapkan sesuatu."
Rasulullah s.a.w. puas dengan jawaban Mu'adz. Beliau lalu berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah membimbing utusan Nabi-Nya ini, hingga membuatnya ridha."
Rasulullah s.a.w. mengantarkan rombongan yang melaksanakan tugas mulia ini hingga ke tepi kota. Di sana, Rasulullah s.a.w. berkata kepada Mu'adz, "Wahai Mu'adz, agaknya engkau tidak akan bertemu lagi denganku setelah ini. Ketika engkau kembali kelak, mungkin engkau hanya akan mendapatkan masjidku dan kuburanku."
Mu'adz seketika menangis tersedu-sedu mendengar kata-kata Beliau, sebagaimana demikian pula semua orang yang ada di sana saat itu. Begitu perih rasa sakit di hati mereka, mendengar bahwa itulah saat terakhir mereka sebelum berpisah dari sosok yang sangat mereka cintai, Rasulullah s.a.w., demi tugas mulia itu—yang harus mereka jalankan. Demikianlah rasa cinta yang ada dari para sahabat kepada seorang Rasulullah.
Apa yang dikatakan Rasulullah s.a.w. memang menjadi kenyataan. Sejak saat itu kedua mata Mu'adz tidak pernah lagi memandang Rasulullah s.a.w. Sang Nabi kecintaannya wafat sebelum Mu'adz kembali dari Yaman. Mu'adz menangis tersedu-sedu saat kembali ke Madinah, menyadari bahwa guru dan sahabat yang sangat dia cintai, Sang Rasul Allah, telah berpulang.
Kesederhanaan Seorang Mu'adz
Di masa kekhalifahan Umar bin Khattab r.a., Mu'adz pernah ditugaskan untuk berangkat ke Banu Kilab, dengan tugas membagikan tunjangan serta mendistribusikan kekayaan dari yang kaya kepada yang miskin. Setelah ia selesai menunaikan tugasnya, kembalilah ia ke rumah dengan hanya membawa selimut yang dikalungkan ke lehernya.
Sang istri pun bertanya kepadanya, "Di manakah tunjangan yang katanya untuk dibagikan bagi para keluarga?"
"Aku tidak mengambilnya, karena ada pengawas yang diutus khusus untuk mengawasiku," jawab Mu'adz.
Istrinya begitu heran dengan jawaban suaminya. "Engkau adalah orang kepercayaan Rasulullah s.a.w! Di masa Abu Bakar, engkau pun adalah orang kepercayaannya! Lalu kenapa di masa Umar ia menugaskan seorang pengawas bagimu?"
Istrinya tampak tidak ridha atas hal ini, dan menceritakan ini kepada istri Umar bin Khattab r.a. Pada akhirnya, ia pun menyampaikan ini kepada suaminya, Sang Khalifah Umar bin Khattab. Karenanya, Umar r.a. pun memanggil Mu'adz dan bertanya, "Apakah aku mengirim seorang utusan untuk mengawasimu?"
"Tentu saja tidak, wahai Amirul Mu’minin," jawab Mu'adz. "Tetapi itu satu-satunya alasan yang dapat kuberikan kepada istriku."
Tawa Umar pun meledak karena penjelasannya itu. Ia pun memberikan tunjangan kepada Mu'adz sambil berkata, "Semoga ini membuatnya ridha."
Saat Kematian Menjelang
Tugas terakhir yang diemban oleh Mu'adz bin Jabal adalah ketika ada permintaan dari Yazid bin Abi Sufyan, gubernur yang bertugas di Syria, meminta ditugaskan beberapa orang yang berilmu kepada mereka, untuk mengajar Al-Quran dan kaidah-kaidah agama karena jumlah penduduk Syria begitu banyak. Maka dikirimlah 'Ubadah bin as-Samit, Abu Darda dan Mu'adz bin Jabal ke Homs, sebuah kota yang terletak di sebelah barat Syria. Sesampainya di sana, 'Ubadah ibn as Samit tetap tinggal untuk bertugas di Homs. Abu Darda berangkat untuk bertugas ke Damaskus, dan Mu'adz ke Palestina.
Pada saat-saat terakhirnya, Mu'adz memandang ke arah Ka'bah dan mengulang-ulang kalimat ini. "Selamat datang kematian. Akhirnya tibalah waktu ketika Sang Pejalan akan pulang, setelah berkelana begitu lama..."
Di Palestina, Mu'adz jatuh sakit oleh sebuah penyakit menular yang tengah mewabah di sana. Pada saat-saat terakhirnya, Mu'adz memandang ke arah Ka'bah dan mengulang-ulang kalimat ini. "Selamat datang kematian. Akhirnya tibalah waktu ketika Sang Pejalan akan pulang, setelah berkelana begitu lama..."
Di saat-saat terakhir, ia memandang ke langit, berkata, "Ya Rabb, Engkau Maha Tahu bahwa aku tidak menginginkan dunia ini, dan tidak berkeinginan untuk memperlama jatah usiaku di sini. Wahai Tuhanku, terimalah jiwaku dengan penuh kebaikan, sebagaimana Engkau menerima jiwa hamba-hamba-Mu yang beriman."
Mu'adz wafat dalam kesendiriannya dalam tugas, jauh dari keluarga dan sahabat, di usianya yang ke-33 tahun. Ia wafat sebagai seorang pejuang dakwah dalam mengemban tugas Rabb-nya.
Referensi:
1. Hamid, A. Wahid. Companions of the Prophet. Vol.1.
2. Biography in Al-Ishabah Mu’adh Ibn Hajar Asqalani no.8039 and Thabaqat ibn Sa’ad
(*) Diedit dan diperbaiki seperlunya oleh Herry Mardian