Puasa adalah ibadah yang 'aneh'. Ia berbeda dari ibadah-badah lainnya. Kalau dikatakan itu adalah sebuah bentuk amal, mungkin tidak sepenuhnya pas juga. Sebab, alih-alih aktif ber-'ibadah', atau ber-'amal' puasa, namun dalam menjalaninya, kita justru tidak melakukan apa-apa. Alih-alih melakukan sesuatu, kita hanya menjaga diri dan menahan diri, jangan sampai melakukan hal-hal yang merusak atau membatalkan puasa.
Puasa adalah ibadah yang tidak ada wujudnya, tidak ada bentuknya. Ia tidak kelihatan dari luar. Puasa, atau shaum/shiyam (dari kata "shama" yang berarti "menahan" atau "berpantang") bentuknya lebih kepada sebuah sikap batin. Istilah 'laku' dalam bahasa Jawa mungkin cukup pas.
Dalam bahasa Sanskrit, laku ini disebut upvasa, yang berarti menarik indra-indranya dari keduniawian, untuk diam dan mendekat kepada Tuhan. Kata upvasa ini yang kemudian diadopsi di Indonesia, Malaysia dan Brunei menjadi 'puasa'.
Ibadah puasa, jika dibanding ibadah-ibadah lainnya, tampak seakan-akan disambut oleh Allah secara lebih 'personal'. Puasalah yang dianggap sebagai 'urusan pribadi' antara si hamba dengan Allah Ta'ala. Dia mengambilnya secara langsung, dan balasannya menjadi rahasia antara Dia dan si hamba. Puasa. Bukan shalat, bukan sedekah, bukan zakat, bukan haji.
Allah Azza Wa Jalla berfirman: "Seluruh amal adalah kaffaroh (pengganti/penutup baginya) kecuali puasa. Puasa adalah untuk Aku, dan Aku yang akan membalasnya (H.R. Ahmad)
"Semua amal anak Adam dilipatgandakan kebaikannya sepuluh kali hingga tujuh ratus kali. Allah Azza Wa Jalla berfirman: 'Kecuali puasa. Karena sesungguhnya puasa adalah untuk Aku, dan Aku pula yang akan membalasnya (sekehendak-Ku). Ia meninggalkan syahwat dan makan karena Aku." (H.R. Muslim)
Dari Abu Umamah beliau berkata: "Aku berkata: 'Ya Rasulullah, perintahkan kepadaku suatu amalan.' Rasul bersabda: 'Untukmu, puasa. Karena sesungguhnya dia tidak ada bandingannya.' Aku berkata (lagi): 'Ya Rasulullah, perintahkan kepadaku suatu amalan.' Rasul bersabda: 'Untukmu, puasa. Karena sesungguhnya dia tidak ada bandingannya.' (H.R. an-Nasa'i)
Yang Tersembunyi di Balik Puasa
Apa yang menyebabkan puasa, atau shaum, menjadi begitu istimewa di mata Allah Ta'ala? Apa sebenarnya tujuan puasa?
Kalau dikatakan tujuan puasa adalah 'agar bisa merasakan dan menghayati laparnya orang miskin', saya kurang sependapat. Itu terasa terlalu normatif. Sebab kalau Anda miskin, Anda tetap wajib puasa. Apa tujuannya jadi untuk menghayati laparnya orang yang lebih miskin lagi dari Anda? Rasanya tidak. Jadi pasti bukan itu tujuannya. Setidaknya itu bukan tujuan inti.
Al-Qur’an menyebutkan bahwa tujuan puasa adalah agar bertakwa (Q.S. Al-Baqarah [2]: 183), ini tentu benar. Itu tujuan akhir. Tapi, bagaimana hubungannya, bagaimana penjelasannya, sehingga puasa bisa membuat seseorang menjadi ber-taqwa?
Puasa pada hakikatnya adalah salah satu bentuk pengosongan diri. Insan, dalam berpuasa, sebenarnya sedang menafikan kehendak syahwat dan hawa nafsunya. Lapar dan haus diabaikan. Syahwat, tak dipedulikan. Ia singkirkan bangga diri, amarah, dan tidak melawan jika harga diri direndahkan — ingat hadits riwayat Bukhari, 'jika kau dicaci, katakan bahwa engkau sedang berpuasa'.
Jika seorang hamba berusaha menentang dan mengendalikan syahwat dan hawa nafsu, dan berupaya untuk lepas dari keinginan-keinginan diri yang tidak sesuai dengan kehendak Allah, artinya seorang hamba sedang 'meniadakan diri'. Ia menafikan segala keinginan yang ada dalam dirinya, selain yang sesuai dengan kehendak Allah. Ia berupaya agar dalam dirinya tidak ada apapun selain apa-apa yang Allah kehendaki atau Allah ridhoi. Dengan kata lain, ia sedang berupaya untuk 'mengosongkan dirinya' dari selain Allah.
Upaya-upaya untuk melepaskan diri dari dominasi syahwat dan hawa nafsu, dan dari keinginan diri yang tidak sesuai dengan kehendak Allah, sebenarnya adalah upaya meniadakan diri. Puasa pun sebenarnya adalah salah satu upaya yang sesuai syari'at untuk meniadakan diri dari selain-Nya.

Upaya-upaya untuk melepaskan diri dari dominasi syahwat dan hawa nafsu, dan dari keinginan diri yang tidak sesuai dengan kehendak Allah, sebenarnya adalah upaya meniadakan diri.
Sekarang, kalau kita mencermati ayat-ayat kauniyah di alam semesta, kita akan melihat natur tertentu. Misalnya, natur keberpasangan. Gelap berpasangan dengan terang. Siang dan malam akan saling mengisi. Dingin akan menarik panas, dan sebaliknya. Pria berjodoh dengan wanita. Positif dan negatif akan saling mengunci. Semua berpasangan.
Hidup dan mati, lapang dan sempit. Ada dan tiada. Sama.
Nah, Allah itu Maha Wujud. Maha Ada. Sesuai natur keberpasangan tadi, pasangan sifat Wujud justru adalah 'ketiadaan'. Fana.
Itulah sebabnya, hamba-hamba yang 'kosong' dan telah 'tiada' tadi, yang telah lenyap dari dirinya sendiri dan hawa nafsunya, jadi sangat berharga di mata-Nya.
Puasa, adalah sebentuk upaya mengosongkan diri, meniadakan diri. Itulah sebabnya Dia akan memperlakukan upaya-upaya pengosongan diri dan peniadaan diri si hamba tersebut jadi hal yang personal bagi-Nya. Yang Maha Wujud tentu akan mencari kekosongan.
Dia memiliki segalanya. Maha Kaya, tidak butuh pada sesuatu pun. Tidak ada lagi yang bernilai dan berharga bagi-Nya, karena Dia memiliki segalanya. Nah, sebagai seorang hamba, apa yang bisa kita persembahkan kepada-Nya, jika Dia telah memiliki segalanya? Apa yang mungkin masih cukup berharga bagi-Nya?
Kita mempersembahkan dari diri kita apa-apa yang mustahil Dia miliki, yaitu ketiadaan, kekosongan, kefakiran, kebutuhan dan kelemahan. Persembahan-persembahan inilah yang bisa kita buat, kita susun, kita bentuk dan kita ukir perlahan-lahan melalui puasa. Puasa adalah salah satu bentuk crafting ketiadaan diri untuk diisi oleh-Nya.
Puasa dan Taqwa
Maka di sini, barulah terlihat hubungan yang jelas antara puasa dengan pembentukan ke-taqwa-an. Sebab pengertian hamba yang taqwa (Al-Muttaqin), di tataran batin adalah hamba yang sudah sepenuhnya berisi kehendak Allah, sudah sesuai dengan kehendak Allah, dan telah sepenuhnya Allah jaga agar senantiasa ada di atas petunjuk dan tuntunan Allah—tidak melenceng sejengkal pun. Ia sudah terlepas dari kendali hawa nafsu dan syahwat. Dengan kata lain, hamba yang taqwa adalah hamba yang telah 'kosong' dari selain Allah.
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Q. S. Al-Baqarah [2]: 183)
Itulah shaum, atau puasa. Tujuannya? Sangat agung, sangat dalam dan sangat tinggi—jauh lebih dalam dari sekedar menghayati laparnya orang-orang miskin.
Selamat 'meniadakan diri', sehingga suatu hari Dia akan menganggap kita cukup berharga untuk diambil-Nya. Amin.
(Jakarta, 10 Ramadhan 1437 H)
Jalaluddin Rumi tentang Puasa
Rumi menyiratkan hal ini dalam sebuah puisinya, sebagai berikut:
Ada rahasia tersimpan dalam perut kosong.
Kita ini cuma alat musik petik,
tak lebih dan tak kurang.
Jika kotak suara penuh, musik pun hilang.
Bakarlah habis segala
yang mengisi kepala dan perut
dengan menahan lapar, maka
setiap saat irama baru akan muncul
dari api kelaparan yang nyala berkobar.
Ketika hijab-hijab habis terbakar,
keperkasaan baru akan membuatmu melejit
berlari mendaki setiap anak tangga
di depanmu yang digelar.
Jadilah kosong,
lalu merataplah
seperti indahnya ratapan bambu seruling
yang ditiup pembuatnya. (*1)
Lebih kosong,
jadilah bambu yang menjadi kalam (*2),
tulislah banyak rahasia-Nya.
Ketika makan dan minum memenuhimu,
iblis duduk di singgasana
tempat jiwamu semestinya duduk:
sebuah berhala buruk dari logam
yang duduk di Ka’bah. (*3)
Ketika kau berpuasa menahan lapar,
sifat-sifat baik mengerumunimu
bagai para sahabat yang ingin membantu.
Puasa adalah cincin Sulaiman (*4).
Jangan melepasnya demi segelintir kepalsuan,
hingga kau hilang kekuasaan.
Namun andai pun kau telah melakukannya,
hingga seluruh kemampuan dan kekuatan hilang darimu,
berpuasalah: mereka akan datang lagi padamu,
bagai pasukan yang muncul begitu saja dari tanah,
dengan bendera dan panji-panji yang berkibaran megah.
Sebuah meja akan diturunkan dari langit
ke dalam tenda puasamu,
meja makan Isa (*5).
Berharaplah memperolehnya,
karena meja ini dipenuhi hidangan lain,
yang jauh, jauh lebih baik
dari sekedar sup kaldu sayuran.
(Jalaluddin Rumi, terjemahan Bahasa Indonesia oleh Herry Mardian)
Penjelasan:
(1) Bambu kosong yang ditiup pembuatnya hingga bersuara, adalah simbol manusia yang telah kosong dan hanya menjadi sarana penyampaian khazanah Sang Penciptanya.
(2) Kitab-kitab suci ditulis dengan pena bambu dan pena alang-alang yang dicelup ke dalam tinta. Ini adalah simbol bagi para penjelas rahasia-rahasia ilahiah. Lihat juga Surat Al-Alaq [96] 2 - 4 ("Bacalah, dan Rabb-mu yang Maha Pemurah, yang mengajarkan melalui Kalam, mengajarkan pada insan apa yang tidak diketahuinya"). Juga Al-Qalam [68]:1 ("Nun, demi Kalam, dan apa yang dituliskannya"). Kalam adalah simbol manusia kosong, yang hanya berisi ilmu-ilmu ilahi.
(3) Iblis duduk di singgasana tempat jiwamu semestinya duduk: Iblis menguasai qalb insan. Dan apa yang menguasai qalb akan menguasai seluruh diri insan.
(4) "Cincin Sulaiman" konon adalah sumber kekuasaan. Legenda mengatakan, 'barangsiapa yang mengenakan cincin Nabi Sulaiman, ia akan memperoleh kekuasaan'. Sebenarnya "cincin Sulaiman" adalah cincin tembaga atau besi murahan yang diukir dengan kata-kata "Ini pun akan berlalu (Gam Zeh Ya Avor)". Jika beliau merasa senang, ia menyadari bahwa kesenangannya adalah sementara sehingga ia menjadi sabar. Demikian pula, jika beliau merasa sedih, dengan melihat ke cincinnya ia menyadari bahwa kesedihannya bersifat sementara sehingga ia juga menjadi sabar dan ridha. "Cincin Sulaiman", yang barangsiapa memilikinya konon akan memperoleh kekuasaan besar, adalah kesabaran.
وَمَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ٱلَّذِينَ صَبَرُوا۟ وَمَا يُلَقَّىٰهَآ إِلَّا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
"Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar. Dan (kesabaran) itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. – Q.S. Fushshilat [41]: 35
(5) "Meja Isa" adalah meja tempat Nabi Isa makan bersama para murid-muridnya dan menjamu mereka, setelah beliau dibangkitkan dari kematian. Simbol dari anugerah hikmah-hikmah langit dan kehidupan (Al-Ma'idah, hidangan langit).